Polemik Hukum Mati, dari Ruth Ellis sampai Sambo
-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
”Amnesty tidak anti penghukuman. Kami sepakat bahwa segala bentuk kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan aparat negara harus dihukum yang berat, tetapi tetap harus adil, tanpa harus menjatuhkan hukuman mati. Ini hukuman yang ketinggalan zaman. Hakim bisa lebih adil tanpa harus memvonis mati Sambo.”
Intinya: Sambo harus dihukum, tapi jangan dihukum mati.
Senada pula, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso kepada pers, Senin (13/2), mengatakan, ”IPW melihat kejahatan Sambo tidak layak untuk hukuman mati. Karena kejahatan tersebut memang kejam, akan tetapi tidak sadis, bahkan muncul karena lepas kontrol.”
Intinya: Sambo dalam kasusnya kejam, tetapi tidak sadis. Mungkin maksudnya, korban tidak dimutilasi.
Senada lagi, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro kepada pers, Senin (13/2), mengatakan, ”Komnas HAM mencatat bahwa dalam KUHP yang baru, hukuman mati bukan lagi menjadi hukuman pidana pokok, dan berharap agar penerapan hukuman mati ke depan dapat dihapuskan.”
Intinya: Diharapkan hukuman mati kelak dihapus. Tidak fokus ke kasus Sambo.
Lembaga agama juga berkomentar. Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom dalam siaran pers, Senin (1/2), menyatakan, ”Hukuman mati (terhadap Sambo) adalah keputusan berlebihan. Mengingat, Tuhan-lah pemberi, pencipta, dan pemelihara kehidupan. Dengan demikian, hak untuk hidup merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia.”
Intinya: Tuhan pemberi hidup manusia. Maka, hanya Tuhan yang berhak mencabutnya. Pasti, tidak ada yang komplain atas pernyataan itu. Cuma, mengapa PGI tidak memprotes semua hukuman mati di Indonesia dan seluruh dunia? Sejak hukuman mati ada di dunia sampai sekarang.
Jadi, sikap manusia itu unik. Sebelum vonis mati Sambo, mayoritas warga benci Sambo. Terbukti data riset penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri, dari 74 persen jadi 53 persen. Setelah vonis mati, banyak LSM kasihan, ramai-ramai membela Sambo.
Perdebatan hukuman mati di dunia, muncul sejak seabad lalu. Memuncak pada 1957.
Giles Playfair dalam bukunya yang bertajuk The Offenders: The Case Against Legal Vengeance (Simon & Schuster, Oktober 1957) menyatakan, hukuman mati sudah tidak manusiawi diterapkan.
Buku itu dibuka dengan kasus Ruth Ellis (9 Oktober 1926–13 Juli 1955), model sekaligus nyonya rumah kelab malam di London, Inggris. Kalau di-Indonesia-kan, mungkin wanita panggilan. Dia janda dua anak.
Ellis berpacaran dengan pembalap David Blakely yang kemudian bertunangan dengan wanita lain. Selingkuh pacaran. Ellis sangat marah.
Minggu, 10 April 1955, Ellis menembak mati Blakely di pekarangan rumah Magdala di Hampstead, London. Blakely tewas seketika. Disaksikan banyak orang. Ellis lalu ditangkap polisi.
Pada Juni 1955 pengadilan London menyatakan, Ellis bersalah atas pembunuhan dan dijatuhi hukuman mati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: