Serial Geliat Masjid Perumahan (Seri 12): Masjid Al-Muttaqien, Sidoarjo; Putih untuk Semua Kalangan
Bangunan Masjid Al-Muttaqien di atas tanah seluas 1.600 meter persegi. Didirikan sejak 2000 silam saat warga meminta tanah hibah pada pihak pengelola-Andika Bagus Priambodo-
SURABAYA, HARIAN DISWAY - Masjid Al-Muttaqien, di Perumahan Pondok Tjandra Indah, Sidoarjo, menjadi masjid yang paling ikonik. Terhitung sebagai yang terbesar di antara delapan masjid lainnya di sana. Di sini, tak ada ”warna-warni”. Hanya ”putih”. Apa makdsudnya ya?
Lokasi Masjid Al-Muttaqien berada di paling belakang kompleks Nanas. Di sana masih terhampar sawah. Sisi kanan dan kiri masjid dikelilingi danau. Sebetulnya, bukan danau sungguhan. Hanya lahan bekas tambak yang dibiarkan penuh genangan air.
Karena di area terbuka seperti itulah angin bisa masuk dari segala penjuru. Siapa pun yang duduk di beranda masjid tentu akan merasa sapuan angin. Bahkan di jam-jam siang saat matahari sedang terik.
Harian Disway mengunjungi Masjid Al-Muttaqien pada Kamis siang, 30 Maret 2023. Tepat jam istirahat para pekerja menjelang azan Duhur. Sekitar pukul 11.00 siang.
Sejumlah karyawan perusahaan berseragam mulai datang. Mereka tak langsung bergegas mengambil air wudu. Melainkan justru rebah sejenak di sekitaran beranda.
Salah satunya, Rasul, seorang sopir truk air galon kemasan. Ia baru saja berkeliling sekitar Waru. Memasok air galon ke toko-toko agen. ”Biasanya selalu mampir sini. Apalagi kalau pas puasa gini, semilir, Mas," tandas warga Candi, Sidoarjo itu.
Hal sama juga dilakukan yang lain. Mereka hanya ingin berteduh sebentar. Untuk kemudian menunaikan salat setelah azan memanggil.
Arsitektur masjid sangat khas bernuansa kebudayaan Timur-Tengah. Nyaris seluruh bagian bangunan putih dikombinasikan sedikit abu-abu. Di halaman depan juga terdapat beberapa pohon kurma. ”Makanya masjid ini sering disebut masjid putih. Dominasi warna catnya putih semua,” ujar Ketua Takmir Helmy Yusuf saat ditemui, Jumat, 31 Maret 2023.
Pemilihan warna itu memang disengaja. Ada alasan filosofisnya. Bahwa Masjid Al-Muttaqien mengusung semangat kesetaraan. Tidak mau ada dominasi satu warna di antara banyak golongan.
Bagian ruangan dalam masjid yang didominasi putih dan dikombinasi sedikit abu-abu. Secara keseluruhan, arsitekturnya menunjuk kekhasan bangunan bernuansa kebudayaan Timur-Tengah.-Andika Bagus Priambodo-
Alias sanggup menerima siapa pun saja dengan latar belakang apa pun. ”Jadi kami terbuka menerima semua kalangan. Bisa fleksibel. Begitu spiritnya," tandas dosen yang mengajar di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga itu.
Tentu spirit tersebut bukan slogan belaka. Sudah dibuktikan oleh para jemaah sendiri. Ingatan Helmy pun kembali pada kenangan beberapa tahun silam. Yakni saat masyarakat dipecah belah oleh pilihan politik. Baik saat pemilihan umum 2014 maupun 2019.
Polarisasi terjadi di mana-mana. Bahkan hingga skup terkecil yaitu keluarga. Sesama saudara bisa saling bermusuhan hanya gara-gara beda pilihan calon presiden.
Kekeruhan itulah yang sempat mengancam persatuan. Tetapi tidak bagi para jemaah Masjid Al-Muttaqien. Mereka justru dipersatukan oleh masjid. Yakni dengan cara membuka forum untuk saling terbuka dan menerima perbedaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: