Serial Geliat Masjid Perumahan (Seri 12): Masjid Al-Muttaqien, Sidoarjo; Putih untuk Semua Kalangan

Serial Geliat Masjid Perumahan (Seri 12): Masjid Al-Muttaqien, Sidoarjo; Putih untuk Semua Kalangan

Bangunan Masjid Al-Muttaqien di atas tanah seluas 1.600 meter persegi. Didirikan sejak 2000 silam saat warga meminta tanah hibah pada pihak pengelola-Andika Bagus Priambodo-

”Saat itu ada imbauan tidak boleh bicara politik di masjid, kita malah terbuka. Biar jadi proses pendewasaan juga bagi warga,” terang Helmy. Artinya prinsip kebersatuan tetap menjadi prioritas. Terutama bagi sesama jemaah.

Termasuk dalam menyikapi banyaknya aliran dalam beragama. Para pengurus dan jemaah sepakat tidak menjadikannya jurang pemisah. Justru dijadikan alat belajar bersama.

Itu dibuktikan dengan sering dihelatnya kajian-kajian rutin. Mulai dari kajian hadist, fiqih, sirah nabawiyah, hingga tafsir. Ulama-ulama yang didatangkan pun tak monoton. Bergiliran dari setiap aliran atau kelompok.

Bahkan rutin mendatangkan ulama dari luar kota. Misalnya, ulama yang sedang populer. ”Kalau beliau-beliau lagi safari dakwah ke Surabaya langsung ditarik ke masjid sini juga,” kata Helmy.

Selain itu, masjid juga lebih hidup dengan banyaknya kegiatan. Baik yang sifatnya khusus organisasi maupun yang berdampak sosial. Setiap akhir pekan, masjid selalu dijadikan tempat untuk sekadar ngopi dan sarapan bersama.

Dua kali dalam setahun, para pengurus menggelar rihlah. Mereka menempuh perjalanan ke luar Surabaya. Paling sering gowes bareng atau wisata kuliner ke Pacet, Mojokerto.

Semua kegiatan hanya bermuara pada satu hal. Yakni demi kemakmuran masjid. Dengan begitu otomatis berimbas pada keharmonisan warga dan jemaah.

Artinya Masjid Al-Muttaqien benar-benar tak hanya dijadikan tempat ibadah muamalah. Tetapi juga sanggup menjadi tempat yang nyaman untuk lebih banyak kegiatan. Termasuk yang paling sering dijadikan tempat akad nikah.

Tentu saja sangat layak. Mengingat arsitektur masjid juga digarap dengan serius. Bahkan diambil dari banyak referensi masjid di era kerajaan Islam. Seperti di Turki hingga Cordova.

Sejarah pendirian masjid ini pun penuh perjuangan. Bermula pada 2000 silam saat warga meminta tanah hibah ke pihak pengelola untuk dibangun masjid. Pihak pengelola pun memberi lahan seluas 1.600 meter persegi. ”Lalu kami bangun secara swadaya dan bertahap. Sampai jadilah seperti sekarang ini,” tandas Helmy. 


Tanaman hias di sekitar masjid yang menyejukkan. Belum termasuk di halaman yang ditumbuhi pohon kurma. -Andika Bagus Priambodo-

Tentang keberadaannya, ada guyonan internal. Jika Jakarta punya Istiqlal. Surabaya punya Al Akbar. Pondok Tjandra Indah punya Al-Muttaqien. ”Karena ketiga masjid ikonik ini sama-sama dekat dengan gereja,” celetuk Helmy, lantas tertawa. (Mohamad Nur Khotib)

INDEKS: Masjid Pondok Mutiara, Perumahan Pondok Mutiara, Sidoarjo BACA BESOK

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: