Doa Di Bantaran Sungai: Maria Sulastri Bimbing Orang-Orang Jalanan
LAYANAN RUHANI: Maria Sulastri (baju hitam) memberikan layanan doa dan pesan-pesan ruhani pada orang-orang di bantaran sungai Kali Mas. Pesertanya lintas agama.-Foto : Dave/Harian Disway-
Persekutuan doa saat ini biasanya diikuti sekitar sepuluh hingga lima belas keluarga. Pada masa awal-awal merintis, persekutuan doa ini hanya diikuti segelintir orang. “awalnya hanya 2 keluarga,” tuturnya.
Saat masa rintisan itu, banyak tuduhan miring yang dilayangkan orang sekitar. Bahkan berlanjut hingga pengusiran. “Sebenarnya dulu mulainya di seberang sana, di belakang Pasar Pabean. Tapi disitu kata RT nya, Bu Maria mengkristenisasi,” Ucapnya sembari menunjuk sisi lain sungai yang terbagi oleh jalan raya.
BACA JUGA:Kegiatan Wisata Selama Libur Lebaran 2023 Diproyeksikan Tumbuh 25 Persen
Pelayanan dan doa bersama ini juga dilakukan Maria tanpa sokongan dana dari pihak manapun. Murni dari kantong pribadinya. Karena inti dari persekutuan doa tersebut adalah memberi. “Gak seperti di gereja besar ya ini, disini gak ada kolekte”. jelasnya.
Pembinaan rohani dan doa bersama biasanya dilakukan setiap dua minggu sekali. “Dulu tak bikin setiap minggu malah gaada orang”. Sebenarnya beberapa orang ingin bergabung namun banyak hal yang membuat mereka tidak ikut.
“Tukang-tukang becak sebenernya mau disini, perlu tak jemput”, begitu katanya dengan wajah sedikit lesu.
Salah seorang peserta, Martinem, menuturkan bahwa ramainya jamaah terutama saat pembagian sembako. Perempuan usia 58 tahun itu berita bahwa sudah lebih dari 20 tahun dirinya bersama Maria. “Saya ikut Bu Maria mulai tahun 2002 dan waktu itu anak saya sakit.” tuturnya.
Ketika itu Maria membantunya untuk perawatan anaknya “Anak saya namanya Febri, sama Bu Maria dibawa ke Karangmenjangan (RSUD Dr. Soetomo Surabaya,Red). Sebulanan.”
BACA JUGA:Kematian Kristus yang Dinista Membawa Perdamaian Kekal
Kondisinya parah kala itu, dan setiap Jumat banyak pendeta yang datang untuk menjenguk anaknya. “Sudah parah mas kondisinya, kulitnya ngelupas semua tinggal sejari,” tuturnya.
Setiap hari Jumat, banyak pendeta yang datang untuk menjenguk dan mendoakan. Hingga pada suatu waktu, detak jantung anaknya berhenti. “Febri itu di alat udah gini,” tutur Martinem menirukan gerakan garis lurus “Kata dokter Febri sudah tidak bernapas.” jelasnya.
Saat itu anak Martinem sudah dikatakan meninggal secara medis. Namun, saat itu seorang pendeta datang padanya. “Bu jangan nangis, gitu katanya. Ini belum waktunya, Tuhan masih punya rencana”, jelasnya. Dan beberapa saat kemudian detak jantung anaknya kembali.
“Puji Tuhan, kok alatnya itu kembali lagi dan akhirnya saya percaya”, ucap Martinem dengan senyum diwajahnya.(Dave Yehosua Tiranda Bongga)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: