Enam Terduga Teroris Lampung Akibat Luka Lama

Enam Terduga Teroris Lampung  Akibat Luka Lama

Peran DE, karyawan DE terduga teroris yang sebar pesan dukung ISIS lewat Facebook-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana. 

Komnas HAM menyatakan, Tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya dengan sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa.

Waktu itu ABRI (kini TNI) juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam. 

Dulu dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai ”orang lokasi” sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar. Tapi, sejak satu dekade terakhir, tidak lagi.

Tragedi tersebut terjadi karena Warsidi membikin kelompok pengajian. Kemudian, berkembang jadi pondok pesantren. Kelompok itu menolak asas tunggal Pancasila. Sudah ditegur pihak kelurahan, kemudian pihak kecamatan, mereka membandel. Mereka hidup eksklusif di Dusun Talangsari III, kawasan hutan. Tidak berbaur dengan masyarakat sekitar.

Pada 7 Februari 1989 muspika yang dipimpin Danramil Kapten Soetiman mendatangi pesantren itu, bermaksud mengajak dialog. Tapi, kelompok Warsidi langsung menyerang rombongan dengan panah beracun. Kapten Soetiman yang berada di baris depan langsung kena panah. Tewas di tempat.

ABRI sangat marah. Esoknya, Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel A.M. Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Lokasi kelompok Warsidi yang eksklusif itu diserbu habis. 

Ratusan orang tewas. Warsidi lari, kemudian jadi buron.

Kasus tersebut ruwet tanpa penyelesaian. Terbaru, 20 Februari 2019, terjadi deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. 

Deklarasi itu dilakukan di Dusun Talangsari, Lampung Timur, dengan dihadiri anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu. Isi dari deklarasi tersebut adalah korban Talangsari tidak lagi mengungkap kasus tersebut karena telah dianggap selesai oleh pemerintah dengan kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung.

Namun, masyarakat setempat yang jadi korban masih tidak terima. Alasannya, pembangunan jalan adalah tanggung jawab negara. Sebaliknya, mereka yang terdiri atas para individu minta ganti rugi langsung.

Setelah itu, tidak ada kelanjutan lagi.

Jadi, ada ”luka lama” di Lampung. Luka 34 tahun silam. Dalam perspektif negara zaman Orde Baru yang otoriter, itu akibat pembangkangan warga negara. Setelah rezim berganti, ”luka” itu belum terobati. Maka, Lampung jadi sarang teroris.

Betapa pun, kini Indonesia relatif aman dari terorisme. Setidaknya, tidak ada pengeboman lagi. Terakhir, pengeboman Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, 29 Maret 2021. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: