Lega Penerimaan Pajak

Lega Penerimaan Pajak

Ilustrasi Perolehan pajak pada triwulan I 2023. -Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

KEMENTERIAN Keuangan (Kemenkeu) lega. Ramainya kasus pejabat eselon III Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo hingga panasnya kasus transaksi tak wajar di Kementerian Keuangan Rp 349 triliun tak berdampak serius pada perolehan Pajak. Paling tidak, itu tergambar pada perolehan perpajakan pada triwulan pertama 2023. 

Menurut data di Kemenkeu, hingga Maret, penerimaan perpajakan tercatat naik signifikan, 25,4 persen, jika dibandingkan dengan tahun lalu. Penerimaan perpajakan terkumpul Rp 504,5 triliun. Bahkan, penerimaan pajak naik 33,8 persen (YoY) menjadi Rp 432,2 triliun. Sementara itu, penerimaan kepabeanan dan cukai naik 8,9 persen ke angka Rp 72,2 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu. 

Perolehan pajak pada triwulan I 2023 ini tentu cukup melegakan. Sebab, nilai itu sudah mencapai 25,16 persen dari target pajak tahun ini, Rp 1.718 triliun. Sebagai pendapatan utama dalam APBN, capaian itu memberikan keyakinan bakal tercapainya target penerimaan pajak dan penerimaan APBN 2023 yang sangat penting untuk membiayai belanja negara. 

Tingginya perolehan perpajakan itu tak lepas dari keberhasilan pemerintah, khususnya Kemenkeu, dalam mendorong masyarakat taat pajak. Kita lihat saja betapa kesadaran bayar pajak di masyarakat sudah sangat baik. Itu, misalnya, dapat dilihat dari bagaimana ketaatan penyampaian surat pemberitahuan (SPT) pajak. 

Dalam tiga tahun ini, kepatuhannya mencapai 83–84 persen. Jauh dibanding 2015–2020 yang hanya sekitar 60 persen. Padahal, dari sisi jumlah wajib pajak (WP), kenaikannya juga luar biasa. Jumlah WP orang pribadi naik menjadi 61,5 juta dari sebelumnya 45,4 juta dan WP bendahara naik menjadi 873 ribu dari sebelumnya hanya 742 ribu WP. Rasio WP OP terhadap penduduk bekerja mencapai 34,66 persen.

Saat panasnya pemberitaan kasus pejabat eselon III Ditjen Pajak, Kemenkeu segera merespons dengan cepat. Salah satunya, melakukan pendekatan kepada organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Berbagai kegiatan sosialisasi perpajakan pun terus dilakukan sehingga masyarakat menerima kasus penyelewengan pajak dan sebagainya sebagai oknum. Dengan demikian, itu tidak sampai menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pajak. 

Penerimaan perpajakan yang cukup tinggi itu membuat APBN 2023 ini mengalami surplus cukup besar, yaitu Rp 128,5 triliun. Total, penerimaan APBN telah mencapai Rp 647,2 triliun. Lebih tinggi daripada belanja negara Rp 518,7 triliun. Selain penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga naik signifikan, 43,7 persen, ke angka Rp 142,7 triliun. 

Surplus APBN di triwulan pertama itu sangat melegakan. Sebab, ini jauh dibanding perolehan periode yang sama 2022. Tahun lalu surplus ABPB hingga triwulan I hanya Rp 11 triliun atau hanya 0,06 persen produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dengan awal tahun ini yang mencapai Rp 128,5 triliun atau 0,6 persen PDB.

Tingginya perolehan perpajakan tersebut tentu sangat menggembirakan. Sebab, pajak itu juga mencerminkan kondisi perekonomian. Sebab, pajak terkait dengan pendapatan wajib pajak. Tingginya pendapatan pajak tentu juga mencerminkan bahwa kondisi perekonomian juga baik. 

Dengan kenaikan pendapatan pajak yang mencapai 33,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, berarti kondisi ekonomi pada triwulan I ini jauh lebih baik. Jika awal tahun lalu (triwulan I) pertumbuhan ekonomi mencapai 5,01 year-on-year (YoY), di triwulan I 2023 ini dipastikan juga di atas 5 persen. 

Jika bisa menjaga momentum ini dengan baik, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 sebesar 4,5–5,3 persen diyakini dapat terwujud. Meskipun, Indonesia tak lepas dari bayang-bayang resesi ekonomi global yang diprediksi berbagai pihak seperti IMF dan World Bank. Bank Indonesia memproyeksikan ekonomi Indonesia 2023 tumbuh 4,5 hingga 5,3 persen. Sementara itu, Asian Development Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 sebesar 4,8 persen dan 2024 sebesar 5 persen. 

Tantangan ekonomi Indonesia tahun ini adalah menurunnya harga komoditas andalan Indonesia. Sawit, batu bara, nikel, gas, dan berbagai jenis tambang lainnya. Selama ini, tingginya harga komoditas membuat kinerja ekspor nonmigas Indonesia mencatatkan kinerja luar biasa. Indonesia mengalami surplus perdagangan selama 34 bulan berturut-turut. Sejak Mei 2020. Maret lalu, misalnya, neraca dagang Indonesia mengalami surplus USD 2,9 miliar. Perinciannya, surplus nonmigas USD 4,58 miliar dan defisit migas USD 1,68 miliar.  

Secara kumulatif, neraca perdagangan periode Januari–Maret 2023 surplus sebesar USD 12,25 miliar. Capaian surplus perdagangan tersebut melampaui surplus pada periode Januari–Maret tahun lalu yang sebesar USD 9,33 miliar. Hasil tambang seperti emas, perhiasan, tembaga, dan sebagainya menyumbang ekspor terbesar, disusul pertanian dan industri pengolahan. 

Pertumbuhan ekonomi yang baik tahun ini sangat penting bagi pemerintah. Sebab, ini akan menentukan pendapatan pemerintah dari sektor perpajakan dan non perpajakan yang menjadi kekuatan utama APBN. Dari belanja negara 2023 sebesar Rp 2.463 triliun, penerimaan perpajakan diharapkan bisa menyumbang Rp 2.021,2 triliun. Lainnya dari penerimaan bukan pajak sebesar Rp 441,4 triliun. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: