Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: Kisah Jagal dan Gerwani (8)
Soe Tjen Marching pertama kali bertemu pasangan yang terkait dengan pristiwa Gerakan 1 Oktober itu yakni jagal dan Gerwani, saat berusia 11 tahun. -Elvina Thalita Alawiyah-
HARIAN DISWAY - Ketika Soe Tjen Marching remaja, untuk pertama kalinya dia bertemu dengan beberapa orang yang terkait dengan peristiwa 1 Oktober 1965. Pertemuan itu begitu berkesan sekaligus membuatnya miris.
Selama hidup Soe Tjen banyak menemui orang-orang yang menjadi korban tuduhan. Mereka mengalami penyiksaan, baik secara fisik atau psikis.
Jika dihitung, jumlahnya mungkin mencapai ratusan. Rata-rata dari mereka bahkan tak memahami apa itu komunis. Hingga tak tahu menahu peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965.
Orang-orang itulah yang menjadi objek tulisan dalam berbagai bukunya. Soe Tjen menjadi begitu dekat, karena sama-sama pernah "senasib" sebagai korban.
Soe Tjen Marching (tengah) dan Yuliani, mamanya, (kiri) dalam sebuah acara di Yogyakarta. -Soe Tjen Marching-
Bedanya, mereka korban langsung. Sedangkan Soe Tjen adalah korban diskriminasi dan tuduhan-tuduhan, hanya karena papanya pernah terlibat organisasi yang diberangus Orde Baru itu.
"Yang paling saya ingat adalah peristiwa ketika mama mengajak saya ke suatu tempat. Rumah kawannya. Di situ saya bertemu mantan jagal dan mantan anggota Gerwani," kenangnya.
Sebelum bercerita bagian itu, dia mengatupkan kedua tangan. Lalu meletakkannya di bibir. Soe Tjen terdiam sejenak.
"Saya itu enggak habis pikir. Bagaimana rumah tangga bisa berjalan seperti itu?," ungkapnya. Selama beberapa detik, Soe Tjen menunda bercerita. Lalu meletakkan kedua tangannya di meja. Tapi Soe Tjen lantas bertutur.
Suatu siang, saat Soe Tjen masih remaja, dia diajak mamanya, Yuliani, ke rumah seorang kawan. "Kalau tidak salah rekan bisnis. Ada di Surabaya. Saya masuk ke dalam rumah bersama mama lalu bertemu seorang perempuan muda," ujarnya.
Perempuan yang duduk di ruang tamu itu menyilakan keduanya duduk. Yuliani, saat itu bertanya, "Bapaknya ada di rumah Mbak? Saya ingin bertemu Bapak". Perempuan itu tersenyum. "Maksudnya, ibu ingin bertemu suami saya?," tanya balik perempuan itu.
Soe Tjen tak hapal dengan nama perempuan itu. Begitu pula dengan laki-laki yang ingin ditemui. Sebut saja perempuan itu "Mawar" dan si laki-laki itu "Duri".
Mengetahui jawaban Mawar, Yuliani buru-buru meminta maaf. Dia kira Mawar adalah anak Duri. Ternyata istrinya. "Lain kali mbok ditanya dulu," tegur Soe Tjen pada mamanya. Yuliani pun masih dengan ekspresi heran. "Bukane gitu. Liaten ta nanti, suaminya itu seperti apa. Enggak sepadan," jawabnya.
Tak berapa lama, Duri, suami Mawar keluar. Ia menyingkap kelambu ruang tengah rumahnya. Saat itulah terlihat sosoknya. Rambutnya putih. Kulitnya telah berkerut. Tatapan matanya tajam dan badannya masih kekar. Tapi ia cukup ramah.
Keduanya pun kaget. Suaminya sudah begitu tua. Sementara istrinya masih muda. Perbedaan usia keduanya jelas terpaut jauh. "Waktu itu kira-kira umur istrinya belum 40 ya. Kalau suaminya sudah ’70an tahun. Mungkin lebih," kenang Soe Tjen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: