Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: ”Saya Dicino-cinokan" (9)
Soe Tjen Marching memegang sekuntum bunga sepatu di rumahnya, di Jalan Putro Agung, Surabaya. Rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya. -Elvina Thalita Alawiyah-
HARIAN DISWAY - Perlakuan diskriminatif tak hanya dialami Soe Tjen Marching kecil. Pun saat dia remaja. Satu lagi yang membuatnya kesal: rasisme.
Pintu kantor polisi berderit. Dengan langkah segan, Soe Tjen Marching mencoba masuk. Petugas-petugas di hadapannya melihat dengan sedikit tertegun. Bukan heran tapi pandangan mesum.
Maklum Soe Tjen remaja terbilang cantik. Kulitnya putih, bersih, tubuhnya ramping dengan rambut sebahu. "Silakan duduk," ujar seorang petugas dengan kumis tebal. Ia mengusap-usap dagunya sembari memandangi Soe Tjen.
Terdengar siulan dari arah belakang. Cat calling. Pada zaman sekarang hal itu termasuk salah satu bentuk pelecehan.
Soe Tjen Marching saat masih berusia 19 tahun dan sudah mengalami berbagai diskriminasi. -Soe Tjen Marching-
Soe Tjen enggan memandang orang di hadapannya. Dia hanya menunduk. Dia sadar bahwa dirinya adalah kaum minoritas. Seorang etnis Tionghoa yang mendapat stigma negatif sejak kejadian 1 Oktober 1965.
Benar, orang di hadapannya mulai menyentil rasis, "Wong Cino ancen ayu-ayu. Sugih jelase". Ia mengatakan bahwa orang Tionghoa memang cantik. Sudah cantik, kaya. Pujian bernada olokan. Mengapa harus ada kata Cino?
Mamanya, Yuliani berkali-kali mengingatkan agar Soe Tjen jangan membantah atau berani melawan. Apabila terjadi sesuatu seburuk apa pun asal bukan kontak fisik, Yuliani selalu menyarankan agar puteri bungsunya itu tetap diam sembari menghindar.
"Ada perlu apa?," tanyanya. "Saya ingin mengurus surat kelakuan baik sebagai syarat masuk kuliah," jawab Soe Tjen. "Bawa kemari KTP-mu," pinta polisi itu. Soe Tjen menyerahkannya. Laki-laki itu memandang benda itu cukup lama. Lantas senyum-senyum.
"Kelahiran tahun segini. Masih muda, nih," ujarnya. Lalu melanjutkan dengan pertanyaan aneh, "Sudah punya pacar?". Soe Tjen hanya diam dan menunduk. Tak sabar karena pertanyaannya tak dijawab, petugas itu menanyainya lagi, "Sudah punya pacar belum? Saya tanya kok enggak dijawab!"
Soe Tjen diam. Petugas itu tampak kesal, lalu menghela napas. "Rumahmu di Jalan Putro Agung, kan? Kapan-kapan saya main ke rumahmu, ya!," ujarnya lagi. Soe Tjen sedikit memalingkan muka. Petugas itu malah mendekatkan wajahnya. "Boleh lho, ya!"
Lama-lama Soe Tjen kesal. Tapi dia sadar akan peringatan mamanya. Terlebih lagi dia perempuan, Soe Tjen pun hanya membalasnya dengan sedikit tawa sinis. ”Benar-benar pertanyaan yang tak relevan dari seorang petugas yang harusnya melayani masyarakat,” gerutunya.
Tapi akhirnya laki-laki itu menyerah. Ia membuatkan surat kelakuan baik untuk Soe Tjen. Seperti tradisi zaman itu, Soe Tjen memberinya uang pelicin.
Soe Tjen Marching berjalan-jalan di lingkungan dekat rumahnya di Inggris. Di negeri itu, Soe Tjen Marching aktif sebagai dosen SOAS University. -s-
Uang itu diterima lalu ditunjukkan ke arah Soe Tjen. "Eh, kamu kan Cino. Wong cino kan sugih. Mosok cuma ngasih segini?," tanyanya dengan sedikit kesal.
Soe Tjen kembali diam. Lalu dia membawa pulang surat kelakuan baik itu tanpa berbasa-basi. Saat melangkah dia masih mendengar gumaman laki-laki itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: