Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: Benarkah Kudeta Gagal? (10)
Selama di Inggris sebagai pengajar di SOAS University, Soe Tjen Marching terus menghasilkan karya tulis menyangkut Gerakan 1 Oktober 1965.-Soe Tjen Marching-
HARIAN DISWAY - Beranjak remaja dan kuliah, Soe Tjen Marching semakin kritis. Apalagi menyangkut hidup dan keluarganya. Banyak pertanyaan mengganjal. Terutama tentang Gerakan 1 Oktober 1965. Kesimpulan demi kesimpulan mulai dia jalin sendiri.
Lantai paving halaman kediaman Soe Tjen di Jalan Putro Agung, Surabaya masih basah. Sisa hujan yang mengguyur Kota Pahlawan. Selama beberapa lama, hanya setahun sekali Soe Tjen berada di rumah. Kesempatan itu tak dilewatkannya untuk mengadakan diskusi, sharing, atau peluncuran buku.
Diskusi terkait buku karya Soe Tjen Marching. Sebagai penulis, ia kerap menjadi narasumber yang bicara tentang Gerakan 1 Oktober 1965.-Soe Tjen Marching-
Karya-karya tulisnya memang bernas. Tajam, akurat, dan mampu memerahkan telinga siapa saja yang pro terhadap orang atau hal yang dikritiknya. Atas karya tulis dan pergerakannya yang intens, Soe Tjen kerap disebut sebagai aktivis kemanusiaan dan kesetaraan hak.
Sebagian besar karyanya menyoroti Gerakan 1 Oktober 1965 dalam perspektif korban, atau mereka yang dianggap terlibat. Tapi di balik semua itu, upayanya berawal dari pikiran-pikiran kritis.
"Coba saya tanya. Kira-kira apa saja hal aneh menyangkut Gerakan 1 Oktober 1965?," tanyanya pada Harian Disway. Jawabannya tentu korban yang dituduh, padahal tak melakukan apa-apa. Lalu disiksa, diperkosa, bahkan dibunuh atau hilang tanpa jejak.
Juga dipenjara seperti Oei Lian Bing, papa Soe Tjen dan Oei Hiem Hwie, pengelola Perpustakaan Medayu Agung yang pernah dibuang ke Pulau Buru kurang lebih tujuh tahun tanpa pengadilan.
Foto masa kecil Soe Tjen Marching (duduk, tiga dari kiri) yang kelak menjadi seorang yang kritis tentang Gerakan 1 Oktober. -Soe Tjen Marching-
Soe Tjen tersenyum. Dia lalu berjalan ke dinding halaman rumahnya. Membuang daun-daun kering bunga-bunga sepatu putih. Di balik perjuangannya yang keras dan tanpa kompromi, dia tetap seorang perempuan. Lembut dan suka dengan segala keindahan.
Lelaki yang memiliki Soe Tjen sungguh beruntung. Mungkin ia berpikiran sama dengan apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya, Anak Semua Bangsa: "Tahu kau, mengapa kau kusayangi lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu tak akan padam ditelan angin. Akan abadi. Sampai jauh, jauh di kemudian hari".
Perempuan kelahiran Surabaya, 1971 itu menoleh sejenak. Kemudian duduk di bangku halaman itu. Ekspresinya sedikit datar. Ujung bibirnya tertekuk ke atas. Agak sinis. Dia lalu mengangkat telunjuknya. "Pertama, di mana Supersemar? Mengapa surat sepenting itu bisa hilang? Apa yang terjadi sebenarnya? Disembunyikan? Dibuang? Itu bukan dokumen main-main," ujarnya.
"Kedua, apa benar organisasi yang dianggap terlarang oleh Orde Baru itu melakukan kudeta? Jika kudeta berhasil maka pemimpinnya akan berganti. Dari Soekarno menjadi Aidit atau siapa. Jika gagal, harusnya presidennya tetap Soekarno, bukan?," tanyanya lagi.
Kudeta Myanmar yang berhasil, misalnya, menumbangkan Aung San Suu Kyi, menggantinya dengan Ming Aung Hlaing, pemimpin kudeta. Atau, kudeta di Libya yang dilakukan oleh Muammar Khadafi, berhasil menumbangkan Raja Idris 1.
Jika gagal, contohnya kudeta Turki. Para aktor kudeta gagal menumbangkan Presiden Erdogan. Presiden itu tetap menjabat hingga saat ini. "Maka, kalau Orde Baru menyebut kudeta PKI gagal, harusnya presidennya tetap Soekarno.
Nah, anehnya, tak lama, kekuasaan Soekarno berakhir. Diganti Soeharto. Katanya kudeta gagal? Kok pemimpinnya ganti?," kata bungsu empat bersaudara itu.
"Itu keanehan ketiga. Keempat, jika benar kudeta, ketika kudeta itu gagal akan ada perlawanan di setiap penjuru daerah. PKI itu punya jutaan massa. Jika dibilang kudeta, anggota-anggotanya akan siap dengan risikonya," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: