Dari Pemartabatan Bahasa hingga Pahlawan Nasional
BAHASA asing masih bertebaran di ruang publik. Kepala Balai Bahasa Jawa Timur Umi Kulsum mengungkapkan, masyarakat masih mengidap ”penyakit” xenomina. Yakni, kesukaan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang asing (berasal dari luar negeri). -Balai Bahasa Jatim untuk Harian Disway -
Di dunia perhotelan, daftar menu makanan acap kali ditulis dengan bahasa Inggris dan tidak ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya boleh saja digunakan bahasa asing karena tamu hotel bukan hanya warga lokal.
Namun, yang lebih ditonjolkan semestinya adalah bahasa Indonesia. Jadi, sebaiknya ditulis dalam dua bahasa dan penulisan bahasa Indonsia lebih besar dan mencolok daripada bahasa asing.
Menurut Puti, berdasar pengalaman dia yang sering berkunjung ke luar negeri, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter. Dia menemukan itu saat di Jepang, misalnya. Masyarakat Jepang, kata Puti, sangat menjaga dan menghargai kehormatan bahasanya.
Bahkan, orang-orang Jepang menggunakan bahasa ibu dalam forum-forum resmi internasional. Kemudian, bahasa tersebut diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, disesuaikan dengan audiens yang dihadapi.
Apakah mereka tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris? Tentu saja bisa. Para pemimpin Jepang fasih berbahasa asing. Walakin, itu hanya dipakai dalam forum informal dan percakapan tidak resmi.
Hebatnya lagi, orang asing yang berpidato di forum resmi Jepang diminta untuk menggunakan bahasa nasional mereka masing-masing. Tak terkecuali dari delegasi Indonesia. Lantas, diterjemahkan ke bahasa Inggris.
Orang Jepang dengan bangga menggunakan bahasa Jepang, mirisnya, orang Indonesia malah lebih bangga menggunakan bahasa Inggris. Mengapa kita malu dan takut dikatakan tidak bisa berbahasa asing?
Ini bukan soal malu dan takut, melainkan bagaimana kita menghargai bahasa nasional kita, menghargai perjuangan para tokoh pendiri bangsa. Mereka sudah berjuang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Siapa lagi yang menghargai bahasa Indonesia kalau bukan kita sendiri sebagai bangsa Indonesia!
Bung Karno fasih berbahasa asing. Meski cakap berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Jepang, Prancis, Rusia, dan banyak lagi, dia selalu menggunakan bahasa Indonesia di setiap pidato-pidatonya untuk menggelorakan jiwa perlawanan rakyat Indonesia dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Ada pula Bung Hatta, M. Sjahrir, M. Natsir, Haji Agus Salim, dan lain-lain yang menggunakan bahasa Indonesia sehingga menggetarkan dunia. Mereka mampu memfungsikan bahasa Indonesia sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Satu lagi yang fenomenal adalah Mohamad Tabrani Soerjowitjitro. Putra Pamekasan, Madura, itulah yang mencetuskan kelahiran bahasa Indonesia. Pria kelahiran 10 Oktober 1904 tersebut adalah seorang wartawan. Hindia Baroe, Pemandangan, Suluh Indonesia, Koran Tjahaya, dan Indonesia Merdeka merupakan media massa yang pernah dia pandegani.
Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober tidak bisa dilepaskan dari Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928. Sampai kini, Sumpah Pemuda telah dipandang sebagai tonggak yang membidani kelahiran bahasa Indonesia.
Menurut Harimurti Kridalaksana dalam bukunya yang bertajuk Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (2010), di Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926, Mohammad Yamin mengusulkan kalimat ”Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe”. Usul tersebut didukung Djamaloedin Adinegoro.
Sebaliknya, M. Tabrani menolak pemahaman Yamin dan Adinegoro. Ditegaskan, bahasa persatuan bangsa Indonesia bukan bahasa Melayu, melainkan Bahasa Indonesia dengan huruf B kapital.
”Bahasa Indonesia tidak ada; Tabrani tukang ngelamun.” Begitulah petikan dari ucapan Yamin yang dicatat dalam buku Sebuah Otobiografi M. Tabrani: Anak Nakal Banyak Akal. Yamin disebut sedang panas hati karena Tabrani menyetujui semua isi pidato Yamin di Kongres Pemuda Pertama, tetapi menolak usul butir ketiga: Bahasa perasatuan adalah bahasa Melayu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: