Dosen di Pusaran Kapitalisme PT

Dosen di Pusaran Kapitalisme PT

Ilus dosen protes.--

Dari segi manajemen keuangan, mekanisme subsidi silang memang bukan hal yang keliru. Meski demikian, ketika PT memperlakukan mahasiswa sebagai konsumen, yang terjadi sesungguhnya adalah proses neoliberalisasi PT. Di berbagai daerah, PT kini telah berubah layaknya perusahaan komersial yang mengejar pertumbuhan ekonomi sekaligus menghasilkan lulusan sebagai komoditas akademik.

Perguruan tinggi tidak lagi menjadi lembaga terhormat yang menghasilkan lulusan berkualitas dan menjadi penjaga moral kejujuran dan spirit kebangsaan untuk mempromosikan kebijakan publik, kepentingan bersama, kemajuan dan kesejahteraan sosial, keberlanjutan, keberagaman, demokrasi, serta kesetaraan dan keadilan. 

Dalam banyak kasus, PT yang sudah terkontaminasi prinsip-prinsip liberalisasi dan kapitalisme cenderung akan menempatkan mahasiswa sebagai pelanggan dan dosen tak ubahnya sebagai pekerja perusahaan. Pada titik itu, kehormatan dosen pun akan terpuruk seperti buruh yang tidak berdaya –yang menjadi korban subordinasi dan eksploitasi lembaga tempat mereka bernaung.

 

Intelektual Organik

Di Indonesia jumlah dosen, menurut data, sekitar 300 ribu. Mereka tersebar di 4.600 perguruan tinggi. Sebuah studi yang dilakukan UGM, UI, dan Unram (2023) yang meneliti 1.200 dosen menemukan bahwa 42,9 persen dosen ternyata menerima pendapatan tetap di bawah Rp 3 juta per bulan. 

Jadi, bisa dibayangkan apa yang akan dilakukan dosen-dosen yang upahnya di bawah UMR itu menghadapi kehidupan dan situasi di sekitarnya? Mungkinkah dosen yang sehari-hari berkutat pada problema tekanan kebutuhan hidup mampu bersuara kritis memperjuangkan hal-hal yang menyimpang atau praktik buruk dalam kehidupan bernegara?

Bukannya memiliki dosen yang kritis dan berani bersuara lantang menyuarakan perjuangan demokrasi dan antikorupsi, bukan tidak mungkin dalam konteks perkembangan perguruan tinggi yang makin komersial, para dosen pun terseret dan kehilangan idealismenya. Perguruan tinggi yang berbasis pada kepentingan pasar niscaya akan kehilangan rohnya.

Di perguruan tinggi yang sudah berubah menjadi pabrik, kegiatan pembelajaran akan sama dengan kegiatan produksi. Yang penting bukan lagi membuka dialog dan kegiatan pembelajaran yang bermutu, karena ukuran kampus yang populer adalah kampus yang menghasilkan sekian banyak artikel jurnal internasional, kampus yang menghasilkan sekian banyak lulusan, dan kampus yang memiliki gedung-gedung megah –tanpa fondasi moralitas dan intelektualitas yang benar-benar nyata. 

Perguruan tinggi di era postmodern seperti sekarang ini sibuk berlomba mengejar untuk meraih ranking yang bagus di dunia global. Tetapi, lupa mengembangkan investasi untuk memfasilitasi dan mendorong peningkatan kualitas dosen yang kritis dan bermutu. (*)

 

 

Bagong Suyanto, Dekan FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: