Dosen di Pusaran Kapitalisme PT

Dosen di Pusaran Kapitalisme PT

Ilus dosen protes.--

KERESAHAN dan protes tentang kesejahteraan dosen belakangan ini terus merebak. Protes yang dilontarkan sejumlah dosen ke Mendikbudristek Nadiem Makarim sesungguhnya bukan sekadar soal batas waktu terkait kebijakan pemutakhiran data kinerja tridarma dosen yang harus di-input di aplikasi yang telah disediakan. 

Tetapi, ada soal yang jauh lebih substansial. Ketika dosen merasa diperlakukan seperti buruh dan dibebani dengan tugas-tugas di luar kegiatan akademik yang begitu banyak, jangan heran jika mereka mulai berteriak dan meminta keadilan. Secara garis besar, makna di balik protes yang dilontarkan para dosen adalah sebagai berikut.

Pertama, protes yang dilontarkan sejumlah dosen sebetulnya menggugat hal yang lebih mendasar. Yakni, berkaitan dengan posisi dosen dalam dunia perguruan tinggi (PT) yang cenderung makin kompetitif dan mengejar pe-ranking-an global. 

Seperti diketahui, sejak perguruan tinggi dihadapkan pada tuntutan untuk mengejar prestasi dalam sistem pe-ranking-an global, yang banyak dikembangkan dalam kegiatan keseharian di kampus terkesan hanya melayani kebutuhan data untuk menunjang upaya menaikkan ranking universitas daripada memfokuskan diri dalam upaya pengembangan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa.

Kedua, berkaitan dengan kekhawatiran terhadap kualitas atau mutu dosen ketika mereka dari hari ke hari dibebani dengan pekerjaan administratif yang menyita waktu. Pengalaman di berbagai PT telah banyak membuktikan ketika dosen diminta terlibat dalam pekerjaan penyiapan borang dan berkas untuk akreditasi internasional, waktu untuk belajar mempersiapkan materi perkuliahan menjadi tersita. 

Ketiga, berkaitan dengan perkembangan proses komersialisasi dan kapitalisme dalam dunia perguruan tinggi. Diakui atau tidak, di berbagai PT belakangan ini proses pengelolaan yang dikembangkan tidak lagi beda dengan perusahaan besar. 

Pendidikan telah menjadi komoditas tersendiri yang ditawarkan dan diperdagangkan kepada para mahasiswa sebagai konsumen utama. Perguruan tinggi tidak lagi sepenuhnya memfokuskan diri pada pengembangan keilmuan, tetapi juga harus menimbang kondisi pasar. 

 

Kapitalisme PT

Berbeda dengan pandangan konvensional yang masih meyakini kampus sebagai lembaga nirlaba yang mengemban tanggung jawab moral mencerdaskan kehidupan bangsa, kini tidak sedikit kampus telah mengalami pergeseran. PT kini tak ubahnya seperti perusahaan atau pabrik yang berkembang dengan prinsip yang serba rasional-kalkulatif, mengedepankan usaha mencari keuangan dan melayani tuntutan pasar.

Sebuah artikel yang ditulis Chaplin & Forseth (2015) berjudul The Commodification of Higher Education Myth mengemukakan bahwa komodifikasi pendidikan tinggi bukan lagi hanya mitos. Meski biaya pendidikan tinggi makin mahal, kursi-kursi kuliah di universitas tetap saja terisi. PT sepertinya tidak pernah kekurangan mahasiswa. Biaya pendidikan tinggi di universitas yang mahal tidak banyak dipersoalkan. Sebab, para lulusan umumnya yakin sudah ada pangsa pasarnya tersendiri.

Ketika mengikuti pembelajaran di kampus, orientasi mahasiswa tidak lagi untuk belajar dan mencari ilmu pengetahuan. PT yang telah bergeser menjadi produsen ilmu pengetahuan kini tidak lagi berusaha mengembangkan iklim pembelajaran yang substansial. Di berbagai PT justru yang lebih banyak dikembangkan adalah bagaimana mengejar akreditasi dan menawarkan kegiatan perkuliahan yang cenderung normatif. Yang penting adalah para mahasiswa bisa lulus tepat waktu. Apakah lulusan yang dihasilkan benar-benar memiliki kompetensi sesuai standar, itu soal lain.

Di Indonesia, ketika sejumlah PT telah menyandang status sebagai PTNBH, di satu sisi mereka memang memiliki otonomi yang lebih leluasa untuk merancang dan mengembangkan dirinya. Namun, di sisi yang lain, berbarengan dengan pemberian otonomi kampus, konsekuensi yang harus ditanggung adalah subsidi dari negara pelan-pelan makin berkurang. PT yang berstatus PTNBH diminta untuk bisa menggali sumber-sumber pendanaan secara mandiri untuk menambal kekurangan dana operasional ketika subsidi itu dikurangi.

Di sejumlah PT terkenal di negara maju, mahasiswa umumnya dibebaskan dari kewajiban membayar SPP. Di Indonesia yang terjadi berbeda. PT justru diizinkan untuk menawarkan jalur mandiri yang membebani mahasiswa dengan kewajiban membayar SPP yang lebih tinggi. Tujuannya adalah bisa dilakukan mekanisme subsidi silang untuk membantu mahasiswa yang tidak mampu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: