Upaya Alit Indonesia Melestarikan Tradisi Menulis Lontar untuk Anak: Diikuti 120 Anak dari 13 Banjar (2)
Dewa Ayu Diah Laksmi sedang membimbing salah satu anak untuk menulis lontar menggunakan pengrupak. -Julian Romadhon-
HARIAN DISWAY - Anak-anak binaan Alit Indonesia yang belajar menulis di atas lontar di Jabe Pura Dalem Agung telah memahami baca-tulis menggunakan aksara Bali. Namun, menuliskan kata demi kata di atas lontar, perlu keahlian khusus.
Dewa Ayu Diah Laksmi, staf Alit Indonesia cabang Bali, dan Putu Marsellia Putri mengeluarkan lembaran-lembaran daun lontar. Panjangnya sekitar 20 cm. Dibuat dari daun ental yang memiliki daya tahan ratusan tahun.
Seperti halnya naskah-naskah kuna dari Jawa-Bali era Hindu-Buddha. Sebut saja Sutasoma, Arjunawiwaha, Nagarakretagama dan lain-lain. "Asal, jangan sampai terlalu sering kena air. Bisa rusak," ujar Putu.
Keduanya membagikan lembaran-lembaran itu untuk tiap anak. Perlengkapan selanjutnya adalah pisau pengrupak atau pisau pahat berukuran kecil, serta bubuk kemiri bakar. Lantas kedua tutor itu meminta anak-anak memikirkan kalimat untuk ditulis.
Fadlan menulis tiga kata: Janardhana Dipa Gantari. Ia mulai mengukir lembaran daun lontar dengan pengrupak. Satu demi satu. Setelah usai, melumurinya dengan bubuk kemiri bakar. Rongga-rongga sayatan terisi dengan bubuk tersebut, sehingga tampak menebal. Lantas sisa bubuk diusap menggunakan tisu.
Anak lainnya, Ni Komang Ayu Anggi Sevianty, menulis kalimat dalam bahasa Bali: meme luas ke Badung. Maknanya mama pergi ke Badung. Ia dengan sabar mengukir daun lontar yang diletakkannya di lantai. Begitu pun I Kadek Dwi Fadli Maha Diki yang menulis nama Puan Kinasih.
Selagi anak-anak itu asyik dengan kegiatannya, Laksmi bercerita bahwa di Bali, seniman penggurat aksara Bali di atas daun lontar jumlahnya sangat sedikit. "Sebelum mengajar ini kami sempat survei ke daerah Karangasem. Bertemu dengan seniman Dewa Catra. Beliau usianya sudah 80 tahun. Selain beliau, seniman serupa sangat sedikit," ungkap perempuan 20 tahun itu.
Kini, anak yang mengikuti kegiatan tersebut berjumlah 120 orang. Tersebar di 13 banjar di Kecamatan Tampaksiring. Selain menulis biasa, ke depan mereka akan mengembangkan seni lontar berisi karya sastra, seperti puisi atau cerita pendek, serta lukisan-lukisan sederhana. Seperti halnya leluhur masa silam yang kerap menggambarkan kisah pewayangan dalam daun lontar.
Jika Mesir memiliki papirus, Nusantara memiliki lontar. Laksmi dan Putu berharap tradisi itu dapat meluas dan kembali populer. "Jika berkunjung ke Mesir, wisatawan akan diberikan papirus. Di kemudian hari di Nusantara, khususnya Bali, wisatawan yang datang bisa mendapat oleh-oleh lontar. Kita tidak kalah dengan Mesir," pungkas Putu.
Faktanya, seni menulis di atas lontar lebih sulit dan lebih bernilai seni daripada papirus ala Mesir. Jika digeluti dengan intens dan berkelanjutan, karya-karya mereka dapat memiliki nilai jual.
Beberapa dari anak-anak itu telah mengirim karyanya ke galeri Alit yang ada di Ubud dan Surabaya. Warisan kultural yang kembali eksis dan akan terus bertahan, sebab generasi muda giat melestarikan. (Heti Palestina Y-Guruh Dimas Nugraha)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: