Tragedi Tanah Merah, Benarkah Carok?

Tragedi Tanah Merah, Benarkah Carok?

Ilustrasi carok Madura.--

Disebut pemulihan harga diri, selaras dengan istilah ”Lakona daging bisa ejai’, lokana ate tada’ tambana, kajaba ngero’ dara.” Artinya, ”Daging yang terluka masih bisa dijahit, tapi jika hati yang terluka, tidak ada obatnya, kecuali minum darah.” 

Atau ungkapan lain, bunyinya: Lebi bagus pote tolang atembang pote mata. Artinya, ”Lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu.”

Di situ jelas menyangkut kehormatan, khususnya lelaki. Jika terjadi sengketa menyangkut harta, takhta, dan wanita. Dan, memang tiga hal itu kebutuhan dasar lelaki secara universal.

Konflik terkait tiga hal tersebut, awalnya, diselesaikan oleh tetua adat. Jika konflik bisa diselesaikan dengan musyawarah, persoalan selesai. Tapi, jika tidak, terjadilah carok, perkelahian dua pihak atau lebih.

Sebelum bertarung, para pelaku carok melakukan tiga hal berikut ini.

1) Kadigdayan. Berupa latihan bela diri menggunakan celurit. Terutama, menguasai cara ayunan celurit agar tidak lepas dari tangan.

2) Tamping sereng. Meminta jampi-jampi kekebalan supranatural dari orang yang dipandang punya kekuatan supranatural. Dalam praktik di lapangan, memang ada pelaku carok yang kebal, tidak terluka saat dibacok celurit.

3) Banda. Modal yang harus dikeluarkan para pelaku untuk dipertaruhkan. Besaran terserah para pelaku. Tidak ada batasan. Bisa uang, hewan, atau hasil bumi. Pelaku yang menang berhak memiliki harta tersebut. 

Dengan begitu, perilaku warga suku Madura sering dikesankan atas dasar prasangka subjektif oleh orang di luar Madura, yang tidak mengetahui bahwa carok bagian dari budaya.

Dengan demikian, muncul suatu kesan yang tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun negatif. Prasangka subjektif itulah yang sering kali melahirkan persepsi dan pola pandang yang keliru sehingga menimbulkan keputusan individual secara sepihak yang ternyata keliru karena subjektivitasnya.

Indonesia dikenal mempunyai budaya yang sangat beragam. Tidak semua budaya dapat dipertahankan seterusnya. Sebab, nilai yang terkandung sudah tidak sesuai seiring perkembangan zaman.

Salah satu yang tidak sesuai adalah budaya carok. 

Dikutip dari buku karya R. Soesilo yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, pada Pasal 182 KUHP dijelaskan:

KUHP tidak memberikan definisi tentang ”berkelahi satu lawan satu” atau duel. Maka, carok tidak diadopsi dalam undang-undang alias ilegal.

Riset dosen Undip itu tidak memerinci kronologi sebelum terjadinya carok. Padahal, penting sebagai pemahaman masyarakat terhadap budaya Madura.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: