Ekspor Pasir Laut

Ekspor Pasir Laut

protes Susi Pudjiastuti pada Jokowi beri izin ekspor pasir laut dan menuliskan bahwa sedimen juga penting untuk kita. --

TAK ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba muncul Peraturan Pemerintah (PP) 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Ini mengagetkan. Sebab, PP itu mengatur juga ekspor pasir (sedimentasi) laut yang sudah dilarang sejak 20 tahun lalu. Sejak 2003, saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.  

PP yang diterbitkan 15 Mei lalu itu mengatur tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Tentu juga mengatur  rangkaian kegiatan terkait: pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan. Termasuk ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut. Dengan terbitnya PP itu, larangan ekspor pasir laut dalam Kepmen 117 tidak berlaku lagi.

Jika melihat alasan pelarangan ekspor pasir laut tahun 2003 lewat Kepmen Perindustrian dan Perdagangan 117/2003, jelas faktor kerusakan lingkungan menjadi dasarnya. Pun, tenggelamnya pulau-pulau kecil, terutama di daerah batas wilayah RI di Kepulauan Riau (Kepri). Juga, ancaman konflik garis batas wilayah Indonesia-Singapura akibat makin menjoroknya daratan Singapura.

BACA JUGA:Kolam Susu dan Ekspor Pasir

Meski kerusakan yang nyata ada di Kepulauan Riau, kepmen itu tidak hanya di wilayah Kepri. Namun, juga seluruh wilayah Indonesia. Tentu menjadi pertanyaan, apakah dua alasan utama itu tidak lagi relevan. Atau, ada alasan sangat penting untuk memperbolehkan ekspor pasir laut. 

Pencabutan larangan ekspor pasir laut itu akan sangat menguntungkan Singapura. Yang sebelum dilarang, Singapura menjadi pengimpor pasir laut terbesar asal Indonesia. Apalagi, Singapura memang menargetkan wilayahnya bertambah luas menjadi 760 km persegi. Saat ini luas wilayahnya baru 700 km persegi. Itu pun sudah jauh lebih luas bila dibandingkan dengan sebelum ada ekspor pasir laut yang luasnya hanya 580 km persegi.

Selain lebih dekat, karena sebagian besar pasir dikeruk dari wilayah Kepri, harga pasir Indonesia FOB Singapura sangat murah. Sekitar 15 dolar Singapura. Padahal, harga pasir laut dari Vietnam saja berkisar 35 dolar Singapura. Lebih dari dua kali lipat harga pasir asal Indonesia. Saat ekspor pasir dilarang, pengurukan pantai Singapura tetap berlangsung. Selain mengambil dari Vietnam, pengurukan banyak dilakukan dengan menggunakan pasir laut ilegal asal Indonesia.

PP 26/2023 ini memang muncul tiba-tiba. Sebab, Menteri Perdagangan  Zulkifli Hasan mengaku tak tahu-menahu mengenai pembuatan kebijakan ekspor pasir laut. Kebijakan tersebut diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Padahal, pelarangan ekspor pasir laut tahun 2003 juga dikeluarkan menteri perdagangan saat itu, yakni Rini M. Soemarno Soewandi. 

Kali ini leading sector PP itu memang bukan menteri perdagangan. Melainkan, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono. Bahkan, Wahyu buka-bukaan soal alasan pembukaan izin ekspor pasir laut. Memberikan dasar hukum pada pemanfaatan pasir yang terbentuk dari sedimentasi di dalam laut. 

Sedimentasi laut dinilai dapat menjadi material yang sangat cocok untuk digunakan pada kebutuhan reklamasi. Wahyu juga mengeklaim bahwa  pengambilan pasir sedimentasi tidak akan merusak lingkungan. 

Buru-burunya PP itu memang sangat tampak. Selain tak melibatkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum melakukan kajian mendalam tentang dampak ekspor pasir laut maupun potensinya. Baik potensi ekspornya maupun potensi pendapatan negara dari PNBP ekspor pasir.

Bagi pemerintah sendiri, sebenarnya ekspor pasir laut tidak memberikan pendapatan yang besar berupa pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Dulu PNBP ditetapkan sebesar USD 3 per meter kubik pasir laut. Namun, riilnya, PNBP tidak sesuai dengan kuantitas pasir laut yang diekspor. Itu menandakan bahwa masih banyak ekspor pasir laut dari Kepulauan Riau yang dilakukan secara ilegal. Tanpa membayar pajak dan kutipan PNBP bagi pemerintah. 

Pemerintah boleh punya berbagai alasan untuk kembali membuka keran ekspor pasir laut. Yang harus diperhitungkan kali pertama adalah rusaknya lingkungan hidup laut. Dua puluh tahun lalu, saat masih dibolehkan ekspor pasir laut, banyak pulau kecil yang tenggelam. Air laut di Kepri jadi keruh, ikan habis sehingga tangkapan menurun, dan nelayan tak lagi bisa mengais rezeki dari melaut.

Meski ada PNBP, sering kali biaya kerusakan lingkungan jauh lebih besar. Biaya reklamasi untuk mengembalikan kondisi laut tidak sebanding dengan pendapatan PNBP dan PPN dari ekspor pasir laut. Itu harus menjadi perhatian serius sebelum Kementerian KKP menerbitkan peraturan menteri untuk mengatur teknis ekspor pasir laut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: