Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (6) : Ancaman Hak Cipta oleh Kemudahan Produksi AI

Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (6) : Ancaman Hak Cipta oleh Kemudahan Produksi AI

FOTO ILUSTRASI yang menggambarkan pencurian ide oleh robot pintar. Kondisi ini adalah tantangan di era modern.-Boy Slamet-Harian Disway-

Dengan AI, semua hal bisa serbamudah dibuat. Bahkan nyaris tanpa banyak campur tangan manusia. Lantas, bagaimana relevansinya dengan konsep hak cipta?

 

SEJAUH ini, belum ada kasus sengketa hak cipta terkait karya yang dihasilkan dengan platform AI. Tetapi, tentu tidak menjamin tidak bakal terjadi. Hanya soal waktu saja lantaran antusias masyarakat juga sangat tinggi.

 

Kabar mengejutkan datang dari Amerika Serikat pada September 2022 lalu. Jason M. Allen menjuarai kategori seni digital kompetisi seni tahunan Colorado State Fair. Ia mengaku karya visualnya berjudul Theatre D’opera Spatial itu dibuat dengan Midjourney.ai.

 

Kemenangan itu pun menuai pro kontra. Terutama soal sah tidaknya karya Allen. Banyak yang menilai itu tindakan curang. Tetapi, tak sedikit yang membelanya.

 

BACA JUGA : Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (5) : Antisipasi Dampak AI, Regulasi Mendesak

BACA JUGA : Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (2) : AI ”Menyelusup” ke Kampus

BACA JUGA: Ketika Jurnalis Digantikan Kecerdasan Buatan

 

Pada Februari 2023, kasus serupa juga muncul di Australia. Kali ini giliran komunitas pencinta fotografi. Karya foto peselancar di tepi pantai buatan AI memenangkan kontes yang diselenggarakan digiDirect. Dipersembahkan oleh kelompok studio seni: Absolutely AI.

 

Namun, kemenangan itu sudah dibatalkan. Yakni setelah Absolutely AI mengaku ke penyelenggara bahwa foto tersebut tidak nyata. Alias dibuat dengan platform Midjourney.ai.

 

Begitulah bukti kecanggihan AI. Bahkan berhasil "mengelabui" seorang pakar sekalipun. Hampir tak bisa dibedakan dengan karya manusia.

 

"AI itu memang bekerja atas perintah manusia," ujar Indar Sugiarto, pemerhati AI Indonesian Association for Pattern Recognition. Yakni mengelola seluruh data yang diambil dari internet. Semakin banyak data yang bisa diakses AI, maka makin sempurna karya yang dihasilkan.

 

Permasalahannya, penggunaan data-data internet itu dianggap ilegal. Bahkan melanggar hak cipta. Sudah ada daftar panjang sengketa kekayaan intelektual atas karya yang dihasilkan AI.

 


ROBOT PINTAR bernama Sophia ini adalah buatan Hanson Robotics, Hong Kong. Robot tersebut dilengkapi kecerdasan buatan sehingga bisa berkomunikasi seperti manusia.-PETER PARKS-AFP-

 

Salah satunya, kata Indar, seperti yang pernah terjadi pada perangkat lunak Stability Diffusion AI. Yakni menyalin jutaan gambar berhak cipta di internet. Dan mempelajari pola semua gambar lalu merelasikannya dengan perintah.


"Lalu generatif AI seperti Midjourney maupun DevianArt bisa memproduksi visual sesuai gaya seniman yang membuat gambar itu," tandasnya. Semua begitu saja terjadi. Tanpa meminta izin dari pemegang hak cipta.

 

Sebetulnya, persoalan hak cipta ini sudah diusahakan solusinya. Terutama melalui aset digital NFT (Non-Fungible Token) yang dikelola dengan sistem Blockchain. Bahkan popularitasnya sempat membeludak pada awal 2022.Setiap karya yang diunggah di sana tidak akan bisa diklaim orang lain. Ini sangat membantu untuk melindungi hak cipta. Sayang, penggunaannya masih belum diwajibkan. 

 

Saat ini sedang ada yang mengembangkan sistem perlindungan hak cipta. Cara kerjanya berbeda dengan NFT. Bukan mengunggah karya ke NFT.

 

Tetapi, karya itu ditempeli dengan kode tertentu. Tujuannya supaya muncul semacam noise bila diakses oleh AI. "Ini bisa diterapkan untuk semua konten. Tapi, sekarang masih tahap studi," ungkap kepala bidang teknik elektronika Universitas Kristen Petra itu.

 

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Prof Henri Subiakto mengatakan, hukum terkait hak cipta di dunia digital memang masih tarik ulur. Pembuat konten mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Tetapi, mereka tidak mendapat timbal balik yang sepadan.

 

Apalagi kini diakumulasi dengan masifnya penggunaan AI. Data-data diambil secara cuma-cuma. "Lantas apa kita minta ke ChatGPT untuk menganalisis siapa yang memegang hak cipta? Kan tidak bisa," katanya.

 

Maka hukum tentang hak cipta ini juga tak kalah mendesak. Indonesia harus lebih banyak belajar dari negara lain. Di Australia, misalnya, sudah ada Publisher Right (PR).

 


FOTO DIGITAL ini dihasilkan oleh program artificial intelligence Midjourney atas perintah Jos Avery, fotografer Amerika Serikat, pada 7 April 2023.-Jos Avery-AFP-

 

PR ini memungkinkan perusahaan media atau pemegang hak cipta mendapat sharing profit. Tetapi, juga masih ada kendala. Yakni dalam menentukan siapa yang seharusnya mendapat profit.

 

"Apakah semua content creator atau cukup yang besar saja? Itulah yang masih diperdebatkan," ujar mantan staf khusus Kementerian Kominfo itu. Hingga kini belum ada kesepakatan. Termasuk lebih dari 4 ribu media yang ada di Indonesia.

 

Belum lagi, kata Prof Henri, berbagai platform global pun menolak PR. Terutama bila semua pembuat konten dan media yang mendapat sharing profit. Jelas penghasilan mereka akan merosot. "Australia ditolak Google. Inilah makanya harus ada forum global, duduk bersama untuk bikin regulasi yang adil," jelasnya. (Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: