Pertama, Lulusan D3 Perpajakan UNAIR Leonardo Dito Priyantono yang Meraih Double Degree di Taiwan dan Pulang ke Indonesia Bawa Tiga Gelar Sekaligus

Pertama, Lulusan D3 Perpajakan UNAIR Leonardo Dito Priyantono yang Meraih Double Degree di Taiwan dan Pulang ke Indonesia Bawa Tiga Gelar Sekaligus

Leonardo Dito Priyantono mahasiswa Universitas Airlangga program double degree bersama dengan Dekan Fakultas Vokasi Prof. Dr. Anwar Ma'ruf, drh., M.Kes. -Ahkyar Shubekhi-

HARIAN DISWAY - Pada pertengahan Agustus 2023 lalu, Leonardo Dito Priyantono akhirnya diwisuda. Di tangannya, dia mendapatkan tiga ijazah sekaligus yakni sebagai lulusan D3, S1, dan S2. Bagaimana agar bisa sepertinya?

Pengalaman Dito menyandang gelar dual degree ini bisa menjadi contoh mahasiswa D3 Perpajakan Fakultas Vokasi UNAIR yang ingin menjalani kuliah di dua universitas sekaligus.

Semua berkat program kerja sama antara Universitas Airlangga dengan Asia University, Taiwan, yang ia ikuti. Melanjutkan program dual degree dengan skema 3+1+1.

BACA JUGA: Khofifah Beri Kuliah Umum Kepada Penerima Beasiswa

Artinya setelah menjalani kuliah tiga tahun di universitas asal, dilanjutkan dengan satu tahun untuk mendapatkan gelar sarjana. Lantas satu tahun lagi untuk mendapatkan gelar magister.

Agar cepat lulus, Dito berstrategi. "Waktu ambil S1, saya nyicil mata kuliah yang bakal diambil pada saat S2. Jadi kuliahnya lumayan padat," ungkapnya. Mumpung sistem perkuliahan di Taiwan lebih terbuka bagi para mahasiswa.

"Kita dibebaskan untuk memilih model kuliah yang seperti apa. Bisa dengan mendengarkan materi dari dosen, kelas yang ada studi kasusnya, atau kelas yang hanya presentasi," terangnya.

Selain bisa belajar materi di kelas, sistem kuliah di Asia University membuat mahasiswa lebih sering diajak studi banding ke perusahaan-perusahaan. Dito sendiri pernah berkunjung ke sebuah perusahaan selama kurang lebih dua minggu. 

“Selama kunjungan itu kita tidak ada pembelajaran di kelas. Tapi kita dituntut benar-benar memperhatikan bagaimana sistem accounting di perusahaan itu," ungkap Dito.

Begitu pun dengan tugas akhir. Asia University memberi kebebasan untuk memilih. Baik itu membuat karya ilmiah, jurnal, atau skripsi. Bisa juga mengerjakan projek bareng dosen yang sesuai dengan program yang diambil.

Untuk S1, Dito memilih membuat skripsi. Sekalian untuk penyetaraan sistem pendidikan di Indonesia. Skripsinya berjudul The Effect of Cash Flow Analysis, Financial Performance, And Capital Structure on Financial Distress Among Property and Real Estate Companies Listed on The Indonesia Stock Exchange, 2018-2021.

Untuk menyelesaikan studi S2, Dito menulis tesis berjudul Exploring the Mediating Role of Trust, Attitudes and Perceived Value in the Willingness to Purchase Green Personal Care Products.

Sambil menyelesaikan itu semua, ternyata Dito ternyata sempat mengambil kerja dengan sistem part time. Kebetulan regulasi kerja di Taiwan sangat detail dan transparan. Semua informasi ada di website milik pemerintah.

"Kita harus punya surat keterangan untuk bisa kerja di sana. Karena masih mahasiswa ambil saja kerja yang bisa menyesuaikan dengan jam kuliah," terang Dito.

Kerja di Taiwan sangat menjanjikan dengan gaji yang lumayan besar. Satu jam kerja dengan standar yang ada di sana bisa mencapai Rp 90 ribu kalau dirupiahkan. "Sebagai mahasiswa saya bisa mengambil kerja yang satu minggunya sampai 20 jam," ungkap alumni SMA 13 Surabaya.

Enaknya kerja di Taiwan itu membuat Dito ingin kembali ke Taiwan setelah wisuda. “Kebetulan ada interview kerja di salah satu perusahaan dengan posisi yang cukup menjanjikan yakni management training dan marketing specialist,” katanya.

Namun, Dito tidak akan berlama-lama bekerja di Taiwan. "Saya hanya ingin mengumpulkan modal. Setelah cukup saya akan pulang ke Indonesia dan berencana berbisnis atau bahkan membuat pabrik sendiri," jelasnya.

Diakuinya, kuliah dan kerja di Taiwan dia lakukan hanya untuk mengamati, meniru, serta memodifikasi potensi-potensi yang positif. “Yang sekiranya bisa diterapkan di Indonesia nanti,” bebernya.

Bagaimana agar seperti Dito? Mahasiswa bisa menuju Airlangga Global Engagement (AGE) yang membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk bisa mengikuti program internasional mulai student exchange sampai double degree.

Deputi Airlangga Global Engagement Dina Septiani Ph.D. menyebutkan bahwa mengikuti program student exchange dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam beradaptasi, toleransi, berpikiran terbuka, serta berkepribadian independen. Termasuk menambah pengalaman dan value diri. 

Semangatnya mengikuti program double degree di Taiwan ini tumbuh karena rasa penasaran yang tinggi. Di samping itu ada peluang dan kesempatan yang sangat terbuka dari AGE. Dito menangkap hal itu untuk bisa mengetahui kemampuan dan kapasitas potensinya sendiri.

Sebelum ia berangkat ke Taiwan, semua tahapan akademik di D3 Perpajakan Fakultas Vokasi UNAIR lebih dulu ia selesaikan. Setelah semua syarat terpenuhi, Dito rela menunda yudisium untuk melanjutkan studi.

“Selama di Taiwan, Dito mendapat bantuan berupa uang per semester dari pihak fakultas. Bantuan dari pihak pemerintah Taiwan per semester juga dia terima,” tambah Dekan Fakultas Vokasi UNAIR Prof. Dr. Anwar Ma’ruf, drh., M.Kes yang bangga dengan pencapaian Dito.

Kebanggaan Anwar itu bisa dimaklumi karena Dito merupakan lulusan D3 Perpajakan UNAIR pertama yang meraih tiga ijazah. “Hebatnya gelar sarjana dan magister itu ditempuh di Asia University dalam waktu dua tahun saja,” katanya.

Bagi mahasiswa yang sedang berjuang mendapatkan kesempatan sepertinya, Dito berpesan bahwa tidak boleh pasrah dengan keadaan. “Yakin pasti mendapat peluang jika mau aktif mencari,” ujarnya. 
Leonardo Dito Priyantono bertoga didampingi salah seorang dosennya saat berhasil menyelesaikan studinya di Asia University, Taiwan. -Leonardo Dito P-

"Selain itu kita harus bisa mendorong lebih jauh kemampuan diri kita dari batas yang biasa dilalui. Kalau tak mau begitu dari mana kita dapat sesuatu yang lebih," katanya.

Apalagi kuliah di negeri orang bukan hal mudah. Pada awal-awal kuliah, Dito sempat mengalami culture shock lo.

"Meskipun budaya Asia itu hampit sama, tapi saya merasa budaya di sana lebih maju dan independen. Di Indonesia kita sebagai masyarakat komunal sering berkelompok, bersosialisasi bersama, tapi di Taiwan masyarakatnya individual," ungkapnya.

Ditambah dari segi bahasa yang terbatas karena di Taiwan masyarakatnya lebih banyak berbahasa Mandarin. Terutama orang Taiwan yang tinggalnya jauh dari daerah kampus. “Jadi jarang ada orang Taiwan yang bisa bahasa Inggris," lanjutnya.

Namun, Dito merasa sangat beruntung karena di Taiwan punya keluarga baru dari orang Indonesia yang sama-sama kuliah di Asia University. Keluarga baru tersebut bernama Asia University Indonesian Student Association (AUISA). 

Mereka inilah yang sering membantu Dito dalam mengurus berkas-berkas persyaratan yang harus dipenuhi saat tinggal di Taiwan. (Heti Palestina Y-Kevin Nizar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: