Sawung Dance Festival 2023 (2): Karya Sri Cicik Handayani, Putri Ameilia, ditutup Reisa Shimojima dan Hari Ghulur dalam Japvanese
Sampai akhir pementasan, Hari Ghulur dan Reisa Shimojima melakukan gerakan-gerakan akrobatik. Penampilan apik Japvanese itu pun jadi penutup yang epik dalam Sawung Dance Festival 2023. -Julian Romadhon/HARIAN DISWAY-
HARIAN DISWAY - Berbagai tarian mewarnai event Sawung Dance Festival 2023. Pun beragam interpretasi terhadap tradisi maupun fenomena khas anak muda masa kini. Seperti penampilan Sri Cicik Handayani dan Putri Ameilia.
Gelaran hari kedua Sawung Dance Festival 2023 dibuka oleh koreografer asal Madura, Sri Cicik Handayani. Dia mementaskan karya berjudul Nandhang. Dalam bahasa Madura berarti berdendang.
Sri Cicik Handayani menari seperti gerakan dalam tayub Madura untuk pementasan tari -Julian Romadhon/HARIAN DISWAY-
Tirai putih menjadi latar. Masing-masing dua pria duduk di samping kiri dan kanan panggung. Memainkan percikan-percikan warna dan visual untuk mengiringi tarian Cicik. Gaya menarinya sedikit erotis. Seperti tradisi tayuban di Jawa.
BACA JUGA: Sawung Dance Festival 2023 (1): Silo Karya Hari Ghulur Maknai Tahlil
Seorang pria di belakangnya duduk bersila. Tak menari. Hanya mengamati tarian Cicik saja. Sembari menyeduh kopi atau merekamnya menggunakan smartphone. Dalam tarian itu Cicik bernyanyi lagu berbahasa Madura. Lalu diikuti pria di belakangnya.
Lewat Nandhang, Cicik mencoba membaca ulang mengenai pemaknaan yang kuat dalam aktivitas nandhang yang dilakukan oleh perempuan tandhak dalam kesenian Tayub Madura di Sumenep. Dalam konteksnya, penari dan menari menjadi objek keberlangsungan suatu tradisi masyarakat.
“Fenomena dan peristiwa yang terjadi dalam ruang-ruang perempuan tandhak karena peranannya yang kompleks pada tatanan dan segala hal yang terjadi,” ujarnya. Bagi masyarakat setempat, kesenian itu lazim dilakukan dan menjadi tradisi turun-temurun.
Fenomena tradisi itu saling berkesinambungan, menimbulkan kesan serta pesan terdalam bagi perempuan tandhak itu sendiri serta orang diluar mereka. Cicik membawa semua itu ke dalam tariannya. Masyarakat Madura menyebutnya tande. Kata itu juga digunakan untuk memanggil penari atau sinden perempuan.
Jika Cicik mengeksplorasi tema tradisional, koreografer muda Putri Ameilia mengangkat tema kekinian. Dia menyikapi fenomena TikTok dan semua orang yang haus membuat konten. Budaya duplikasi pun dituangkannya dalam koreografi apik berbau jenaka.
Para penari Fomo on TikTok karya Putri Ameilia yang menggunakan ring light dan berjoget pargoy. Mereka menyindir para pembuat konten di media sosial. -Julian Romadhon/HARIAN DISWAY-
Dia hadir di bawah panggung, lalu menuju ke tengah-tengah penonton. "Hai guys, ada yang tahu joget viral di TikTok? Joget apa ya?," tanyanya. Cukup interaktif. Penonton berusia remaja pun berdiri, bertepuk tangan, lalu berseru, "Pargoy! Pargoy!."
Muncullah joget pargoy di atas panggung. Empat penari kemudian membawa ring light. Satu per satu mereka berlagak membuat konten. Ada konten tentang curhat masalah rumah tangga, konten tentang memasak dan konten tentang make up. Seorang penari menghampiri masing-masing pembuat konten itu.
Mengamati, bahkan dijadikan model oleh mereka. Putri menyindir, bahwa demi konten, segala hal dilakukan. Tak peduli apa pun. Yang penting viral dan jadi tren. Beberapa gerakan terlihat sama. Dia menyinggung budaya duplikasi. Seorang viral, yang lain mengikuti membuat konten serupa.
Tirai gemerlapan muncul di tengah-tengah panggung. Para penari keluar-masuk tirai itu dengan beragam ekspresi. Kemudian kembali berpose di depan ring light sembari menutup wajah mereka dengan kain. Kembali Putri menyindir budaya media sosial.
Bahwa apa yang terlihat di kamera, tak selalu sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Dalam media sosial pun, semua dilakukan demi kepentingan semata. Putri memberi judul karyanya itu: Fomo on TikTok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: