Pentas Ludruk Sanggar Angling Dharma Hadirkan Cerita Rakyat Sidoarjo Sarip Tambak Oso Dengan Tafsir Sejarah Baru

Pentas Ludruk Sanggar Angling Dharma Hadirkan Cerita Rakyat Sidoarjo Sarip Tambak Oso Dengan Tafsir Sejarah Baru

Sarip Tambak Oso (kanan) dalam adegan berkonfrontasi dengan 3 serdadu belanda dalam pentas ludruk Angling Dharma berjudul: Pendekar Lor Kali -Julian Romadhon/Harian Disway-

Lakon Sarip Tambak Oso kembali dimainkan dalam pentas ludruk. Tapi di tangan Sanggar Ludruk Angling Dharma, gaya penceritaan tentang Sarip dikemas dalam gaya flashback. Imajinatif, tapi ada pula yang berdasar data sejarah dan topologi wilayah.

SARIP Tambak Oso, Pendekar asal Sidoarjo yang dikisahkan sebagai pembela wong cilik. Berkali-kali dibunuh tapi selalu hidup lagi ketika ibunya meneriakkan namanya.

Fenomena di luar nalar tersebut dihasilkan dari hubungan antara ibu dan anak yang nyawiji atau menyatu. Sarip dan Ibunya tak bisa terpisahkan satu sama lain. Jika ingin benar-benar membunuh Sarip, maka incar ibunya.

Kisah legenda pendekar itu muncul kembali dalam pertunjukan yang dibawakan oleh Sanggar Ludruk Angling Dharma asal Bojonegoro di Gedung Cak Durasim, kompleks Taman Budaya Jawa Timur, 9 September 2023. 

Legenda Sarip Tambak Oso merupakan cerita rakyat yang populer di masyarakat Sidoarjo. 

BACA JUGA:Anjing Robot Makin Tren di Tiongkok

Dalam adegan pembuka, Sarip dikepung tiga serdadu Belanda. Ia tak mundur barang selangkah. Tiba-tiba saja senapan ketiga Belanda itu macet. Tak bisa digunakan untuk menembak tubuh Sarip. Ketiganya pun melarikan diri.

Ibu Sarip di rumah telah mendengar kabar bahwa anaknya menjadi seorang pencuri. Namun, bukan pencuri yang hidup bergelimang harta curian. Sarip selalu membagi-bagikan harta curian itu untuk rakyat kecil yang membutuhkan.


Adegan Lurah Gedangan yang menghajar Ibu Sarip Tambak Oso dalam pentas ludruk Angling Dharma Pendekar Lor Kali -Julian Romadhon/Harian Disway-

Tapi melihat perangai Sarip yang jauh dari sifat brangasan, membuat ibunya ragu akan hal itu. “Sarip, opo bener kowe dadi maling (Apa benar kamu jadi maling, Red), Nak?,” tanya ibunda Sarip yang diperankan oleh Sylvia Anggraeni.

Sarip mengangguk. Lalu ia menjelaskan bahwa yang jadi sasarannya adalah orang-orang kaya dari kolonial Belanda, atau pribumi-pribumi kaya yang menghamba pada kolonial. Maka tak heran bila Sarip diburu.

BACA JUGA:Serunya Berkarikatur dalam Lokakarya Karikatur Pingki Ayako

Ibunya pun percaya. Apalagi jika Sarip benar-benar pencuri yang bertujuan memperkaya diri, tak mungkin keluarganya hidup miskin. Lalu ibunya berkisah tentang kisah masa kecil Sarip.

Adegan pun berganti. Aktor-aktor cilik sedang bermain. Salah satunya adalah karakter Sarip kecil.

Ketika bermain, Sarip kecil dicurangi kawan-kawannya. Bahkan dipukul hingga pingsan. Ibunya datang, memanggil namanya. Ia bangkit kembali.

Lalu adegan kembali beralih. Meja panjang dan dua kursi. Duduk seorang tokoh sepuh yang diperankan Sumantri serta ayah Sarip yang diperankan Trio Wahyu Aji. Keduanya saling berhadapan.

Ayah Sarip itu bernama Joko Mudho. Sebenarnya tak ada catatan sejarah tentang sosok ayah Sarip. Namun, Suyanto, sutradara, menggali informasi dari cerita tutur masyarakat Sidoarjo. “Ayah Sarip konon merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro. Ia tak pernah kembali dari pertempuran,” ujarnya.

BACA JUGA:Membaca Ulang “Nandhang” Madura dalam Koreografi Sri Cicik Handayani

Nama Joko Mudho pun merupakan interpretasi dari Suyanto. Nama itu bermakna seorang pemuda yang gagah perkasa yang gemar lelaku atau olah spiritual.

“Legenda tutur pun menyebut bahwa kesaktian Sarip diperoleh karena ia dan ibunya memakan lemah bang atau tanah merah,” ungkap pria asli Madiun itu.

Tanah merah itu diberikan oleh ayahnya saat Sarip masih bayi. “Lemah bang kalau dalam penafsiran saya, erat kaitannya dengan tanah tempat disimpannya ari-ari bayi,” terangnya.

Dalam tradisi Jawa, orang tua akan menanam ari-ari anaknya di dalam tanah yang dekat dengan rumah.

Tanah dari lokasi penanaman ari-ari itulah yang kemudian diambil segenggam. Setengahnya dimakan oleh Tini, ibu Sarip, setengahnya lagi dimakan oleh bayi Sarip dengan cara disuapkan.

Itulah yang membuat keduanya memiliki keterikatan. Jika Sarip dibunuh, ibunya bisa membangkitkannya lagi dengan cara memanggil namanya.

Begitu pula saat ibunya berada di bawah ancaman. Dengan meneriakkan nama Sarip, anaknya itu bisa tiba-tiba muncul. Seperti saat ibunya dihajar oleh Lurah Gedangan yang menagih pajak tambak milik mendiang ayahnya.

BACA JUGA:Groundbreaking RSUD Surabaya Timur Dimulai, Proyek Telan Anggaran Rp 500 Miliar

Kisah Sarip Tambak Oso ini dilakonkan oleh Sanggar Angling Dharma dengan alur yang maju mundur. Beberapa adegan mengisahkan masa lalu (flashback) untuk memperkuat penokohan dan motif konflik.

Adegan masa lalu Sarip serta ayahnya merupakan bagian dari tafsir kontemporer tentang legenda masyarakat Sidoarjo tersebut.

Pentas ludruk lazimnya tak mengungkap adegan itu. Namun, Sanggar Angling Dharma tetap menyuguhkan beberapa adegan yang dianggap pakem.

Seperti pembunuhan Lurah Gedangan oleh Sarip. Atau pertarungan Sarip melawan Paidi, karena Sarip tak terima Saropah dilecehkan.

Pementasan Ludruk tentang Pahlawan Sarip tersebut diberi judul Pendekar Lor Kali, judul yang berlawanan dengan label tokoh Sarip selama ini.

Dalam kisah rakyat maupun pertunjukan-pertunjukan ludruk, Sarip digelari Pendekar Etan Kali atau pendekar yang bertempat di sebelah timur sungai. Namun menurut Suyanto, sungai Porong di Sidoarjo mengalir dari barat ke timur.

“Sungainya di timur kok Sarip disebut Pendekar Etan Kali? Harusnya, pendekar lor atau utara kali,” tutur pria 61 tahun itu.

Interpretasi itu didasarkan dari data-data peta geografis Sidoarjo, yang dibacanya dari Museum Leiden, Belanda. Ia menemukan catatan tentang Sungai Porong pada tahun 1830, 1884 dan 1925.

“Jadi pementasan ini dan penyematan julukan Sarip berlandasan data geografis dan topologi wilayah. Sungai Porong tak berubah sejak dulu,” ujarnya.

Pendekar Lor Kali berhasil menarik perhatian ratusan pengunjung. Tafsir kisah Sarip yang menurut Suyanto “agak nakal” dan sedikit di luar pakem, tapi ia menyuguhkan itu semua berdasar data. (Guruh Dimas Nugraha)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: