Uji Nyali Mendaki Merbabu Jalur Suwanting (2): Bukan Puncak, Cukup Sabana

Uji Nyali Mendaki Merbabu Jalur Suwanting (2): Bukan Puncak, Cukup Sabana

Merbabu terkenal sebagai gunung dengan sabana terindah di Indonesia. Pendaki bukan hanya bisa melihat hamparan padang rumput yang menghijau tapi juga perbukitan indah. -Tri Lestari-

JALUR menanjak, berbatu, dan berdebu harus dilewati untuk mencapai pos demi pos. Itulah tantangan Gunung Merbabu yang mengasyikkan. Apalagi saat sampai di sabana. Wow! Tak terkatakan.
 
Kaleng oksigen kukeluarkan. Napas ini sudah sangat terengah-engah. Terus terang, aku kalah dengan Ace Zafran, bocah berusia 5 tahun, pendaki termuda di antara lima dewasa. Aku, Lailia Rahmawati, Helmi Ardiansyah, Muhdi Ansori, dan Rozi Pramusti.
 
Meski paling kecil, Ace begitu bersemangat dan kuat berjalan terus. Sedangkan yang tua-tua ini sudah ngab alias kecapekan dan sesak. Hahaha. 
 
Pada salah satu jalur pendakian terdapat akses berupa tali tampar. Melewati semak-semak yang rimbun dan tanah yang sangat berdebu. Ace meraih tampar itu dengan tangan kecilnya. Agak terseok-seok untuk naik ke atas. Ayahnya, menjaga di belakang.
 
 
Nah, apalagi aku. Harus step by step. Perlahan-lahan untuk naik. Ada kuncinya: jangan sekali-kali duduk untuk beristirahat meskipun barang sejenak. Tetaplah berdiri. Karena duduk bisa membuat kaki njarem atau linu. Tubuh juga akan semakin capek.
Kami berenam sebelum turun untuk pulang. Kali ini Ace digendong ayahnya (kanan) dalam perjalanan ke bawah yang rutenya lebih seram. Jalan juga berpasir sangat licin. -Tri Lestari-
 
Oksigen ini sebenarnya untuk semua orang. Jaga-jaga bila ada satu-dua yang sesak napas. Tapi nyatanya dua kaleng itu untukku sendiri.
 
Maklum, dulu pernah terserang Covid-19. Cukup parah. Setelah pulih, napas rasanya tak lagi kuat seperti dulu. Gampang terengah-engah. Sesak. Mungkin dampak jangka panjangnya. 
 
Tapi aku tetap tak menyerah. Bila Ace yang kecil itu bisa, aku harus bisa dong.
 
Seperti yang telah kusinggung, jika mendaki Gunung Merbabu, siapkan perbekalan air yang banyak. Karena sumber air sangat minim. Lokasi air satu-satunya hanya ada setelah kami melewati pos dua.
 
Yakni pos air. Di situ ada pancuran air. Tapi keluarnya tak banyak. Ditambah, antreannya luar biasa. 
 
Di Gunung Merbabu ada lima jalur. Kami melewati jalur Suwanting. Sangat ramai karena jalur Selo ditutup. Entah karena apa.
 
Hari sudah sore. Ace dan ayahnya, Helmi, mendahului kami pergi ke atas. Menuju pos pemasangan tenda. Disusul Muhdi yang selesai mengambil air. Saya dan Lailia -ibu Ace- dan Rozy masih antre. Akhirnya kami cuma bisa mengumpulkan beberapa botol.
 
Karena hari sudah mulai gelap, Muhdi menyusul kami ke bawah, membawa headlamp. Sampai di pos air, ia bilang jika tenda telah didirikan. Hebatnya, sepanjang perjalanan, si kecil Ace tak mengeluh sedikit pun.
 
Ia baru tantrum begitu sampai di pos tenda. Rupanya cuaca dingin membuatnya menggigil. Tapi ayahnya pintar menenangkannya. Tak lama, Ace terlelap di dalam tenda. 
 
Setelah mengambil air, kami berjalan ke atas. Remang senja dan pemandangan alam dari ketinggian sungguh menakjubkan. Dari situ, kami bisa melihat puncak Gunung Merapi dan beberapa gunung lain di Jawa Tengah. 
 
Warna jingga memudar. Awan-awan bergulung menutup puncak Merapi. Tebaran debu bercampur kabut tipis. Mega-mega itulah yang diminta bidadari Retna Lestari pada Kiai Bakuh yakni raksasa penghuni Gunung Merbabu dalam folklor setempat.
 
Untuk menangani raksasa jahat Kiai Bakuh, bidadari Retna merayunya agar berbaring. Dia berdiri di punggungnya dengan maksud untuk mengambil mega-mega jingga di langit senja. Saat berdiri, ternyata kurang tinggi. Retna menumpuk berbagai batuan di sekujur tubuh Kiai Bakuh.
 
Demikian cara Retna untuk membujuk raksasa itu. Batu yang menumpuk di kepalanya menjadi Gunung Merapi. Yang di kakinya menjadi Gunung Merbabu.
 
Begitulah cerita legenda kedua gunung itu. Bila terjadi gempa atau erupsi, sebelum pengetahuan tentang geologi ada, masyarakat menganggap itu adalah amarah Kiai Bakuh.
 
Senja di Merbabu terlihat sempurna. Perlahan warna jingga itu memudar. Berubah menjadi gelap. Kami mendapati itu semua ketika sudah sampai di tenda. Tak banyak cakap-cakap lagi, kami langsung beristirahat. Kami memang harus cukup tidur karena stamina sudaj sangat terkuras.
Remang senja dan pemandangan alam dari ketinggian sungguh menakjubkan. Dari situ bisa terlihat puncak Gunung Merapi dan beberapa gunung lain di Jawa Tengah. -Tri Lestari-
 
Pada dini hari pukul tiga, para pendaki yang mendirikan tenda di sekitar kami tampak bersiap-siap. Mereka hendak mendaki ke puncak untuk menikmati sunrise.
 
Beberapa kawan menawarkan itu. Tapi aku justru lebih setuju untuk mendaki ke sabana. Apalagi Ace menolak ketika diajak mencapai puncak. Maunya, ingin di tenda saja.
 
Pukul delapan, kami menuju sabana. Tapi rupanya staminaku tak cukup kuat. Baru beberapa menit berjalan, kuputuskan untuk kembali ke tenda. Seorang pendaki sebaiknya paham kondisi fisiknya sendiri. Jika tak kuat, jangan dipaksakan. Mungkin bisa sampai ke tujuan. Tapi belum tentu bisa kembali.
 
 
Siang pukul 10, kami berenam turun. Ace digendong ayahnya dalam perjalanan ke bawah. Rutenya lebih seram dibanding rute mendaki. Jalan berpasir sangat licin. Aku berkali-kali terperosok dan benar-benar menangis. Berjalan bersama Laili dan Muhdi.
 
Laili tampak tak kuat lagi membawa carrier. Muhdi pun mengopernya. Berjalan dengan double carrier. Tentu kami jadi lambat. Sementara yang lain sudah mendahului turun. Ingin hati beristirahat. Tapi ada target harus sampai pos pendakian tepat pukul empat sore. 
 
Sebab jika lewat waktu dikenakan biaya tambahan. Untung mereka yang sampai lebih dulu sudah mengisi daftar nama. Termasuk namaku dan Muhdi. Jadi meskipun tiba kala Maghrib, tak ada biaya ekstra.

Setelah hari gelap, kami kembali ke Tuban. Pelan-pelan dan santai. Beristirahat semalam di rest area Sragen. Baru esoknya sampai di Tuban. Tiada lain yang kulakukan: pijat! (*/Guruh Dimas Nugraha)
 
*) Treveller, pelukis, tinggal di Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: