Uji Nyali Mendaki Merbabu Jalur Suwanting (1): Kalah dengan Bocah 5 Tahun

Uji Nyali Mendaki Merbabu Jalur Suwanting (1): Kalah dengan Bocah 5 Tahun

Aku (tengah) dan empat kawan pendakian yakni Lailia Rahmawati, Helmi Ardiansyah, Muhdi Ansori, dan Rozi Pramusti, dan si kecil Ace Zafran. -Tri Lestari-

POTENSI wisata alam Jawa Tengah amat menarik. Salah satunya Gunung Merbabu di kawasan Boyolali. Aku mendakinya via jalur pendakian yang begitu ekstrem dan berdebu. Meski tak mencapai puncak, semua susah payah tak ada artinya lagi begitu melihat keindahannya.
 
Setiap kakiku menapak tanah berpasir, angin menerbangkan setiap bulirnya. Dinding berbatu pun tak kalah berdebu. Hinggap di wajah, rambut. Tak terbayangkan lagi rupa pakaianku. 
 
Merbabu musim kemarau selalu begitu. Sangat kering. Jika hujan, lembab dan becek. Tapi selalu menantang siapa saja untuk mendakinya. Pun diriku.
 
 
Aku ke sana bersama empat kawan lain. Lailia Rahmawati, Helmi Ardiansyah, Muhdi Ansori, dan Rozi Pramusti. Ditambah seorang anak kecil berusia 5 tahun. Ia putra Lailia dan Helmi. Namanya Ace Zafran.
 
Bayangkan, mendaki gunung Merbabu dengan bocah. Tapi kami tak khawatir, Ace berpengalaman. Berkali-kali ia diajak ayah-ibunya mendaki atau plesiran ke tempat-tempat wisata. Gunung Merbabu dengan ketinggian lebih dari 3 ribu meter adalah pendakian tertingginya.
Sudut pemandangan yang menawan di Gunung Merbabu. Meski tak mencapai puncak, keindahannya sudah sangat memuaskan buat para pendaki, termasuk yang pemula. -Tri Lestari-
 
Kami berangkat dari Tuban pada 8 September 2023. Berjalan terus ke Boyolali, sampai di pos pendakian pukul empat sore. Dalam perjalanan, seperti halnya rute menuju daerah gunung, pasti berliku dan banyak terdapat tikungan tajam. 
 
Sayang di beberapa sudut belum terpasang lampu penerangan jalan. Jadi jika malam hari, perlu ekstra hati-hati.
 
Pos pendakian terdapat di sudut perkampungan. Untuk mendaki Gunung Merbabu bisa melalui empat jalur. Yakni Suanting, Selo, Takelan, Cuntel dan Wekas. Kami memilih jalur Suanting yang katanya paling ekstrem. Untuk melakukan pendakian wajib booking dulu melalui website Merbabu.
 
 
Juga harus membuat id di website tersebut. Ada kuota untuk para pendaki. Hanya sekitar 365 orang yang boleh naik. Untuk anak-anak seperti Ace, wajib menyertakan surat keterangan. Bahwa ia dalam kondisi sehat dan di bawah tanggung jawab orang tua.
 
Kami beristirahat semalam di pos itu. Pagi jam 8 terdapat pengecekan. Semua barang di-list. Berapa jumlah bajunya, berapa tenda, matras, perbekalan, sampai jumlah kantung plastik yang dibawa. Bahkan jika ada orang yang membawa rokok, pihak penjaga menghitung jumlah per batangnya!
 
Itu dilakukan untuk menghindari penumpukan sampah di gunung. Jadi begini: jika ada tiga bungkus camilan, jika semua habis, maka pulangnya harus membawa ketiga bungkusnya. Kalau saat turun hanya membawa dua bungkus saja, maka kena denda.
 
Pengecekan itu sangat efektif untuk menjaga agar para pendaki tak seenak udelnya membuang sampah. Dengan begitu kondisi Gunung Merbabu relatif bersih. Tidak terlihat sampah berserakan karena wisatawan sadar untuk membuang sampah mereka. 
 
Saat pengecekan awal, kami diberi pembekalan. Bahwa jalur yang kami lalui cukup sulit. Pendakian tidak boleh dilakukan secara solo atau seorang diri. Jika sendirian, akan digabungkan dengan pendaki lain atau disarankan menyewa porter.
 
Sebab rute pendakian Suanting terus menanjak, berbatu, dan berdebu. Plus harus ekstra hati-hati karena kami membawa bocah. Tapi hebatnya, si kecil Ace tak menunjukkan rasa takut sama sekali.
 
Ia malah antusias dan tak sabar untuk naik gunung. "Ayo naik, ayo naik. Ace kuat, kok," katanya, sembari mengepalkan tangan. Mamanya memasangkan kacamata hitam dan buff. Supaya nanti tak kena debu.
 
Aku suka lihat tingkah polos anak itu. Berkali-kali aku ikut menyemangatinya. "Nanti kalau Ace capek, kakak yang gendong," kataku, berjanji. Dia menggoyang-goyangkan telapak tangannya padaku. "Enggak. Ace bisa jalan sendiri. Ace kan kuat," katanya.
 
Sesi cek perbekalan dan briefing di pos pendakian itu sebenarnya hanya sebentar saja. Tapi antreannya yang panjang. Sehingga dari jam 8 pagi, kami baru bisa memulai pendakian pukul 11 siang. Dari pos pendakian menuju pos satu bisa ditempuh dengan jalan kaki atau menyewa motor.
 
Kami memilih sewa motor untuk mempersingkat waktu dan menjaga stamina. Sesampainya di pos satu, kami berjalan terus. Seperti yang telah dibilang di pos pendakian, rutenya terus menanjak. Merbabu adalah gunung berapi yang masih aktif. Seperti halnya gunung berapi, kondisi tanahnya relatif subur.
Mendaki Gunung Merbabu via Suanting harus tahan dengan rute yang terus menanjak, berbatu, dan berdebu. -Tri Lestari-
 
 
Tapi saat musim kemarau begini, debunya minta ampun. Daun-daun tanaman pakis yang betebaran di sepanjang jalan pun warna hijaunya memudar. Tertutup oleh pasir dan debu sepanjang jalan. Jejak-jejak kaki para pendaki yang jumlahnya ratusan membuat pusaran-pusaran debu semakin pekat. 
 
Di sepanjang rute Suanting, air minim. Tak ada sumber air yang mengalir seperti halnya di gunung-gunung lain. Itu artinya para pendaki harus membawa persediaan air yang cukup. Kalau perlu bawa galon ke atas. 
 
Tampak Ace berada di barisan paling depan. Ayahnya persis di belakang dan kerap mengawasi langkah anaknya. Sedangkan aku, tipe pendaki lambat. Posisiku di belakang. Ternyata, janjiku menggendong Ace tentu saja tidak bisa kupenuhi. 
 
Kali ini aku mengaku kalah dengan bocah. Malah, dadaku sesak akibat debu ekstrem dan cuaca dingin. Dalam kondisi begitu, justru aku yang serasa minta digendong. Huh! (*/Guruh Dimas Nugraha)
 
*) Traveller, pelukis, tinggal di Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: