Capres-Cawapres Membincang Kedaulatan Pangan
Ilustrasi visi-misi capres soal kedaulatan pangan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Kodam V/Brawijaya Siap Dukung Ketahanan Pangan
Budaya pesisir juga tecermin dalam hidangan tradisional masyarakat pesisir di Indonesia. Hidangan seperti ikan bakar, ikan asin, sambal, dan kerupuk laut menjadi bagian tak terpisahkan dari makanan laut tradisional. Festival seperti ”Mappanretasi” di Sulawesi Tenggara merupakan perayaan dari hasil tangkapan laut yang melimpah.
Selama berabad-abad, Indonesia telah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan hasil pertanian, menarik pedagang dari seluruh dunia. Sejarah perdagangan itu telah memengaruhi budaya makanan Indonesia, dengan pengaruh asing yang menciptakan masakan yang kaya dan beragam.
Namun, datangnya kekuasaan Eropa melalui VOC dilanjutkan pemerintah Hindia Belanda mengganggu kearifan lokal di Indonesia. Kebijakan kedaulatan pangan selama masa kolonial Indonesia sangat dipengaruhi agenda pemerintah kolonial Belanda. Penanaman bahan pangan diganggu dengan penanaman wajib (cultuurstelsel) maupun monopoli penanaman lainnya.
Kebijakan itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan Belanda sehingga produksi pangan di Indonesia disesuaikan dengan permintaan pasar kolonial. Beberapa kebijakan yang diterapkan selama masa kolonial mencakup: Sistem tanam paksa yang mewajibkan penduduk bumiputra menanam tanaman komersial (kopi, nila, tebu, indigo).
Pemerintah kolonial Belanda mempromosikan tanaman ekspor seperti kopi, teh, karet, dan kakao yang mendominasi lahan subur sehingga mengurangi lahan untuk pertanian lokal.
Kebijakan pertanian monokultur, yaitu menanam satu jenis tanaman dalam skala besar, berdampak negatif pada kedaulatan pangan karena kurangnya keanekaragaman tanaman lokal.
Ditambah berbagai peraturan yang menghambat pemilik tanah pribumi dalam mengelola tanah mereka, banyak lahan pertanian yang telantar atau digunakan untuk tanaman ekspor.
Pemerintah kolonial mengendalikan perdagangan pangan lokal, mengatur harga dan distribusi untuk keuntungan ekspor. Beberapa praktik pertanian tradisional masyarakat pribumi dilarang, menciptakan kesenjangan dengan pertanian modern yang didorong Belanda.
Dampaknya adalah kesulitan masyarakat pribumi dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka. Sebab, kebijakan kolonial lebih berfokus pada kepentingan pemerintah kolonial dan ekspor. Efek kebijakan kolonial itu masih terasa dalam sejarah pertanian dan kebijakan pangan hingga saat ini.
Tantangan lainnya adalah urbanisasi yang cepat dan pertumbuhan populasi yang tinggi. Urbanisasi mengakibatkan lahan pertanian berkurang karena dikonversi menjadi permukiman atau industri. Di sisi lain, pertumbuhan populasi berarti ada lebih banyak orang yang harus diberi makan.
Kurangnya akses ke pendidikan (riset) pertanian dan kelautan serta teknologi modern menjadi kendala lainnya. Banyak petani dan nelayan di Indonesia yang masih menggunakan metode tradisional yang kurang efisien dan rentan terhadap perubahan iklim.
Teknologi pertanian modern, seperti penggunaan pupuk yang tepat dan metode irigasi yang efisien, dapat meningkatkan hasil pertanian.
Pengembangan varietas tanaman yang tahan terhadap perubahan iklim juga dapat membantu mengurangi risiko kekurangan pangan. Begitu pula dengan teknologi kelautan yang dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan.
Inovasi dalam produksi pangan berupa pertanian vertikal, hidroponik, dan penggunaan lahan yang cerdas adalah contoh-contoh inovasi dalam meningkatkan produktivitas pertanian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: