Ponpes Oxford

Ponpes Oxford

RUANG uji disertasi dan tesis di University of Oxford.-Arif Afandi untuk Harian Disway-

Ketika ikut makan malam, ingatan saya langsung ke film Harry Porter. Seperti mengikuti makan malam bersama yang dipimpin Dumbledore, sang rektor sekolah sihir. Di Oxford, para dosen dan pimpinan college berada dalam satu meja dengan para mahasiswa berprestasi.

University of Oxford terdiri atas college-college. Di Indonesia seperti fakultas-fakultas. Hanya, di banyak perguruan tinggi di Eropa, fakultas-fakultas itu berdiri sebelum universitas berdiri. Karena itu, universitas lebih sebagai kumpulan fakultas. Bangunannya pun terpisah untuk setiap college.

Masuk ke Oxford terasa seperti memasuki pondok pesantren besar. Yang terdiri atas berbagai pondok yang diasuh masing-masing kiai, tapi menyatu dalam kesatuan seperti Ponpes Al Falah, Ploso, dan Lirboyo, Kediri. Setiap pondok itu punya spesialisasinya sendiri. 


GEDUNG tempat awal mula tradisi ujian disertasi secara terbuka di University of Oxford.-Arif Afandi untuk Harian Disway-

Di setiap college di Oxford ada asrama. Tempat para mahasiswa tinggal. Terutama para mahasiswa baru. Mereka bersosialisasi di dalam kampus. Juga, melakukan kegiatan-kegiatan bersama. Misalnya, makan malam resmi yang digelar setiap pekan sekali.

Saya blusukan ke berbagai pojok kampusnya Donis. Juga, sempat ditunjukkan taman yang dibangun Raja Jordania Abdullah. Raja yang konon temannya Prabowo Subianto itu adalah alumnus kampus tersebut. Ia pun menyumbang almamaternya dengan membangun taman kampus.

Seperti halnya di pesantren, rupanya di kampus besar dan ternama di Eropa tak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi, juga membangun karakter para mahasiswanya. Tetap mempertahankan hubungan sosial para mahasiswanya. Ada tradisi-tradisi baik yang tetap dipertahankan.

Mereka tetap melestarikan sejumlah tradisi baik yang pernah berkembang di kampusnya. Juga, tetap membangun komunalitas antaranggota civitas academica-nya. Tradisi akademik yang sangat rasional masih bersanding dengan tradisi-tradisi lama yang berbau emosional.

Perguruan tinggi menjadi semacam lorong waktu yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Mereka menjadikan masa lalu sebagai pelajaran dan inspirasi dalam membangun cara berpikir dan tatanan masa depan. Seharusnya perguruan tinggi menjadi seperti demikian.

Pesantren sebetulnya kurang lebih melakukan hal yang sama. Ia mengajarkan tradisi yang tertulis dalam berbagai kitab kuning. Tradisi akademis yang berkembang dalam dunia Islam. Sambil diajarkan tentang dunia kekinian dalam koridor keyakinan sebagai landasan utama. 

Pesantren melahirkan cendekiawan yang terkadang melampaui apa yang telah diajarkan. Misalnya, KH Ahmad Bahauddin Nursalim, seorang kiai muda ahli tafsir yang namanya amat kesohor. Ia pada dasarnya cendekia, pemikir, dan penafsir. Ia ilmuwan jebolan pesantren.

Saya pernah mendengarkan ceramahnya di depan para dokter dan guru besar di UGM. Ia bisa menjelaskan berbagai fenomena medis yang bersumber dari teks Al-Qur’an yang memang ia hafal dan kuasai dengan sempurna. Padahal, ia tidak pernah belajar di fakultas kedokteran. 

Tradisi keilmuwan pesantren memungkinkan lahirnya para cendekiawan seperti Gus Baha –panggilan akrab KH Bahauddin Nursalim. Pesantren yang berbasis agama juga banyak melahirkan entrepreneur dan pemimpin masyarakat atau umat. 

Menurut Donis, konon University of Oxford dikembangkan dengan inspirasi dari dunia pendidikan Islam. Tapi, tentu anggapan seperti itu masih perlu dikonfirmasi. Sehingga tak menjadi klaim sepihak. Yang menganggap University of Oxford adalah kumpulan pesantren dengan ilmu yang berbeda. Demikian juga University of Cambridge.

Mengapa perlu kritis terhadap klaim di atas? Sebab, klaim seperti itu bisa benar dan salah. Benar jika kita melihat bahwa lembaga pendidikan tinggi di Eropa tersebut lahir setelah terjadinya masa kejayaan Islam di abad ke-7. Saat Daulah Umayyah dan Abbasiyah menguasai dunia ilmu pengetahuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: