Pengguna Vape Terus Bertambah, Liquid Makin Laris Padahal berisiko

Pengguna Vape Terus Bertambah, Liquid Makin Laris Padahal berisiko

WHO larang vape. Tampak Farhan Wahyudi, seorang pengguna, menuangkan liquid di salah satu kafe di Surabaya.-Sahirol Layeli-Harian Disway-

Tren rokok elektrik makin masif sejak beberapa tahun terakhir. Alih-alih ingin lebih sehat, para pengguna justru terjebak dalam risiko kesehatan yang sama. Kandungan dalam rokok elektrik nyatanya tidak kalah berbahaya dari rokok konvensional.

HAL itu dibenarkan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Paru-Paru Indonesia (PDPI) Prof Agus Dwi Susanto. Uap rokok elektrik memang tidak mengandung karbon monoksida dan tar.  Namun, sama-sama mengandung nikotin dan bahan karsinogen alias pemicu pertumbuhan sel kanker.

Alasan menggunakan rokok elektrik cukup beragam. Tetapi, biasanya mereka menjadikan rokok elektrik sebagai alat terapi untuk berhenti merokok. Padahal, kata Prof Agus, keduanya sama-sama mengandung bahan toksik yang sifatnya iritatif dan merangsang terjadinya peradangan inflamasi. 

“Bentuknya partikel halus, baik dalam komponen asap dari rokok konvensional maupun uap dari rokok konvensional. Jadi sama-sama adiksi dan berbahaya untuk kesehatan,” ucap Prof Agus dalam media briefing Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia secara virtual, Selasa, 9 Januari 2023.

Bahkan, Direktur utama RSUP Persahabatan itu secara tegas menyatakan rokok elektrik tidak memenuhi syarat sebagai nicotine replacement therapy untuk berhenti merokok. Kandungan rokok elektrik terbukti tetap berbahaya bagi kesehatan.

BACA JUGA : WHO Larang Rokok Elektrik

Melansir New England Journal of Medicine (2014), rokok elektrik diperkirakan menjadi semacam pintu masuk ke pengguna obat-obatan (gateway drugs). Artinya, pengguna rokok elektrik akan kecanduan. Lantas berpotensi menggunakan nikotin dan obat-obat terlarang lainnya.

Rokok elektrik dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Terutama pada sistem jantung, paru-paru, dan pembuluh darah. Pada penggunaan jangka panjang bakal berdampak pada sistem tubuh lain. 

Seperti sistem pencernaan, persarafan, sistem hemostasis, imunitas hingga karsinogenesis (risiko kanker terutama paru, mulut, dan tenggorokan). “Rokok elektrik terbukti meningkatkan risiko berbagai penyakit paru, seperti asma, PPOK, pneumonia, pneumotoraks, dan kanker paru,” tandas Guru Besar FKUI itu.


Grafis fakta-fakta rokok elektrik.-Grafis: Annisa Salsabila-Harian Disway-

Di sisi lain, perokok elektrik terus meningkat tiap tahun. Bahkan, Indonesia menempati urutan pertama sebagai pengguna terbanyak. Itu berdasar hasil survei Statista Consumer Insight pada 2023.

Gerai-gerai penjual mulai bertebaran. Baik di kota-kota besar maupun daerah. Mereka menjual peralatan lengkap rokok elektrik. Mulai dari aksesori hingga liquid.

Di Surabaya, misalnya, ada satu merek rokok elektrik yang populer. Baru dibuka setahun belakangan. Namun, pertumbuhan bisnisnya luar biasa. Gerai mereka menjamur di banyak titik. 

Tentu saja, masifnya perokok elektrik ini menjadi lahan bisnis baru. Khususnya bagi anak-anak muda. Tak jarang para selebritis juga membuka gerai rokok elektrik.

Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita mengamininya. Ia sendiri juga merasakan durian runtuh sebagai produsen liquid di ibu kota. Meski sempat pesimistis pada awal kemunculan vape tahun 2012.

“Sebulan dulu cuma seribu botol (liquid). Pelanggannya segmented, jadi harganya masih tinggi,” ujarnya saat dihubungi Harian Disway, kemarin. Namun, tak butuh waktu lama untuk menjadi tren baru. Garindra mulai merasakan penjualan yang masif begitu memasuki 2014.


WHO melarang penggunaan vape. Proses produksi liquid di salah satu home industry di kawasan Surababaya Timur.-Sahirol Layeli-Harian Disway-

Produksi naik perlahan. Dari sebelumnya cuma puluhan ribu botol menjadi ratusan ribu botol per tahun. Puncaknya pada 2022, Garindra bisa menjual lebih 900 ribu botol. Bahkan sepanjang 2023 tembus 1,3 juta botol. Naik 100 kali lipat dari tahun awal.

Menurutnya, peningkatan konsumsi tak hanya terjadi di Indonesia. Tetapi hampir semua negara. Ini merupakan budaya baru bagi Generasi Z dan Milenial. “Padahal tanpa iklan. Beda dengan rokok konvensional,” tandasnya. 

Berarti, kata Garindra, para perokok elektrik ini adalah konsumen yang memikirkan risiko. Mereka merasa lebih aman dan sehat ketimbang merokok konvensional. Budaya ini juga berbanding lurus dengan tren lain. Seperti maraknya pengguna mobil listrik, motor listrik, hingga kompor listrik. (Novia Herawati/Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: