Membaca Peta Sastra: Menghentikan Kekerasan oleh Anak (1): Meracuni Bacaan, Mengusir yang Dulce
Suasana mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA Asisi, Jakarta. Ada lima kelas; 4 kelas 11 dan 1 kelas 12 IPA, yang saya lakukan selama dua semester. -Stebby Julionatan-
Nah, ketidakterpaparan siswa pada sastra itu mengusik saya. Setiap membuka pelajaran saya membawa dan membacakan beberapa paragraf awal buku-buku sastra Indonesia yang saya sukai. Saya membacakan Saman karya Ayu Utami, Pulang-nya Leila S. Chudori, atau Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan.
Selain membacakan, saya memberi pengantar kepada mereka siapa Ayu, Leila, dan Eka. Kira-kira mengapa mereka menulis karya-karya tersebut.
Tak hanya pada karya Ayu, Leila dan Eka. Pada kesempatan lain - ketika pulang ke Probolinggo- saya mengambil buku-buku koleksi lawas di rumah untuk saya perkenalkan kepada siswa saya. Ada Raumanen, Pada Sebuah Kapal, Dadaisme, Tabula Rasa, Cala Ibi, dan Supernova.
Intinya, saya meracuni mereka dengan novel-novel Indonesia yang saya suka. Sama, saya pun tak hanya memperkenalkan karyanya. Tapi saya senang sekali membahas sepak terjang penulisnya dan menceritakan kepada murid-murid saya kenapa karya-karya tersebut lahir.
Pujangga besar Yunani, Horatius dalam Ars Poetica (dalam Teeuw, 1984:183) menyatakan bahwa sastra punya fungsi dulce et utile. Indah dan bermakna. Sastra itu menghibur sekaligus memberi manfaat bagi pembacanya. Ada kekhawatiran personal saat murid-murid saya menyebutkan bacaan yang mereka baca saat ini.
Pasar rupanya membentuk selera mereka. Karya sastra remaja yang mereka baca dan mereka sebut di atas, menurut saya, adalah karya-karya sastra yang cenderung menekankan pada aspek hiburan (dulce) tapi lemah pada sisi manfaat (utile).
Mengapa saya bilang demikian? Sebab karya-karya tersebut lemah ketika berhadapan dengan pertanyaan semacam, “Apa tantang zaman yang sedang dihadapi oleh si pengarang? Bagaimana pengarang merespon tantangan zaman yang ia hadapi tersebut? Dan, bentuk atau kebaruan apa, tentunya di dalam sastra, yang ia tawarkan untuk menghadapi tantang zaman tersebut?”
Apa sebenarnya keresahan dan kegelisahan saya ketika para siswa hanya membaca karya-karya yang dulce?
Lebih lanjut, jika pernyataan Horatius tersebut saya turunkan, maka siswa-siswa saya kiranya hanya menyentuh nilai/fungsi rekreasi atau satu dari lima fungsi sastra yang lainya, yakni fungsi estetis (keindahan), etis (moral), didaktis (pengajaran), dan reflektif (cerminan realitas sosial budaya).
Karena kelima fungsi tersebut maka sastra dapat meningkatkan sisi afeksi (sosial emosional) bagi pembacanya. Sastra, menurut sejumlah riset, bahkan dipercaya dapat memperkaya wawasan dan memperhalus perasaan (Hidayat, 2009: 221; Mirnawati, 2015: 53; Tundreng, 2022: 127).
Para pembaca sastra umumnya lebih paham bagaimana menjadi manusia dan memberlakukan manusia lainnya. Sebab umumnya mereka lebih sadar bahwa manusia adalah sehimpun pengalaman tubuh yang kompleks, manusia bukanlah segumpal pemikiran yang dapat disederhanakan menjadi hitam dan putih (biner), dan manusia bukanlah jiwa yang muncul dari kekosongan (naïve).
Saya harus sepakat dengan penulis dan jurnalis senior Hanna Rambe saat ia membahas kasus remaja bernama Mario Dandy. Kasus kekerasan dengan pelaku anak-anak. Baginya, remaja yang membaca karya sastra pasti tidak akan melakukan tindakan yang demikian. Menginjak-injak kepala kawannya sendiri hingga lumpuh. Ini bukti kegagalan pendidikan sastra di sekolah, ujarnya.
Di 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengeluarkan laporan mengenai tingginya tingkat kekerasan yang dilakukan oleh anak. Dalam laporan tersebut, terdapat 655 anak menjadi pelaku kekerasan dan berhadapan dengan hukum selama periode 2016-2020.
Seorang siswa yang mengikuti kelas tengah berbagi tentang buku sastra yang dibacanya. -Stebby Julionatan-
Jika data tersebut dihubungkan dengan kejadian yang tengah saya alami di kelas dan obrolan serius saya dengan Hanna Rambe maka sah kiranya jika saya berasumsi bahwa tingginya angka pelaku kekerasan oleh anak tersebut boleh jadi karena disebabkan oleh ketiadaan pengajaran sastra di sekolah.
Kurikulum bahasa Indonesia memberikan jumlah pengajaran sastra yang minim. Para siswa saya, mereka yang selama sembilan tahun menggunakan kurikulum 2006 (KTSP) dan tiga tahun menggunakan kurikkulum 2013 (K-13) makin tak tersentuh oleh sastra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: