Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (3): Etika Jantan

Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (3): Etika Jantan

Lestari Puji Rahayu (Yayuk, kiri) dan Mulat Nur Setyanto, suaminya (kanan). Pasangan suami istri pemilik Rumah Batik Peri Kecil, berkisah tentang pengalaman masa lalunya terkait tradisi carok. -Julian Romadhon-HARIAN DISWAY

HARIAN DISWAY - Tradisi carok di Madura, meski negatif, tapi memiliki etika yang jantan. Bukan menyerang dari belakang, atau tawuran ala kadarnya. Pihak yang akan berduel, awalnya diwakili oleh ulama atau blater yang mereka pilih. Lalu dalam carok, ada aturan-aturan yang harus dipatuhi.

Selepas pukul enam sore, hujan mulai reda. Budayan Madura Hidrochin Sabarudin yang karib disapa Abah Doink- mengajak Harian Disway untuk masuk ke ruang tamu Rumah Batik Peri Kecil, milik pasangan suami-istri Mulat Nur Setyanto dan Lestari Puji Rahayu.

BACA JUGA: Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (2): Dimediasi Blater

Rumah itu cukup teduh dan hangat. Berlokasi di Raya Tunjung, Kecamatan Burneh, Bangkalan. Kain-kain batik motif Madura jadi latar pertemuan. Konstruksi rumah sebagian terbuat dari kayu. Sehingga menambah kesan lawas, tapi artistik dan syahdu. Hanya, yang dibicarakan adalah perihal persoalan yang berdarah-darah.

Ya, carok. Tradisi yang sebenarnya telah punah itu rasanya masih untuk dibicarakan. Betapa masyarakat Madura dikenal memiliki keberanian, sekaligus nilai moral dalam bentuk pertanggungjawaban. Carok sejatinya tak mengenal dendam berkelanjutan. Karena jika sudah usai duel antara dua orang yang bertikai, maka masalah pun selesai.

"Kalau mengacu pada tindak kriminal 12 Januari 2024 di Bangkalan, itu sekali lagi bukan carok. Carok tidak mengenal dendam di antara keluarga masing-masing yang bertikai. Duel carok ada di tempat tersembunyi. Pelaksanaannya tidak disaksikan siapa pun," ujar Abah Doink. 

Setelah masing-masing pihak yang bertikai berdiskusi dengan ulama atau blater yang dipilih, maka orang pilihannya itu akan bertemu untuk berdiskusi. Inti pembicaraannya adalah mediasi. Bukan mendorong terlaksanakannya carok. 

Pun jika mediasi menemui jalan buntu dan carok mau tidak mau harus diadakan, maka itu akan meninggalkan perasaan berat bagi ulama atau blater tersebut. Sebab, sebagai orang yang dituakan atau toko sepo, sejatinya mereka tak menghendaki tradisi itu. 

"Bila sudah sepakat untuk carok, maka masing-masing pihak yang bertikai akan pamit pada keluarganya. Bahwa mereka ada masalah, dan itu harus diselesaikan dengan carok. Tak ada jalan lain," ujarnya. 

Dalam proses berpamitan itu disampaikan pula bahwa jika ia mati, tak boleh ada dendam. Sebab, mati dalam carok adalah mati karena mempertahankan keyakinan atau harga diri. Secara jantan dan berani. 

Sebab, jika ditantang carok, maka sebagai orang Madura harus berani menerima. Itu merupakan karakter warga Pulau Garam. Terutama masyarakat masa lalu yang masih mengakrabi tradisi itu. 

"Ketika saya kecil, saya beberapa kali melihat jenazah korban carok yang ditandu, dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit. Ada suatu daerah di Madura yang lokasinya kerap menjadi tempat duel carok," ujar Yayuk. 

Hal itu terjadi sekitar 30 tahun silam. Peristiwa itu pun sebenarnya kurang tepat disebut carok. Karena antara pihak yang berduel, kerap mengabaikan tahapan remo carok. Yakni musyawarah yang dilakukan sebelum duel terjadi. Jadi langsung melakukan tantangan, sepakat menentukan tempat sebagai lokasi pertarungan carok. 

Tapi itu pun merupakan sisa-sisa nilai tradisi carok. "Setelah dua blater bertemu, dan menemukan jalan buntu, maka masing-masing pihak yang bertikai sepakat untuk menentukan waktu serta tempat berduel. Proses bertarungnya pun satu lawan satu. Tak ada orang lain yang tahu," ujar Abah Doink.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: