Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (4): Hitung Dina Naas

Carok dan Pergeseran Nilai di Madura (4): Hitung Dina Naas

Hidrochin Sabarudin menunjukkan salah satu senjata celurit yang digunakan untuk bercarok. -Julian Romadhon-HARIAN DISWAY

HARIAN DISWAY - Dalam tradisi carok, sangat banyak yang harus dipertimbangkan. Sehingga pelaksanaan carok bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Mulai dari penentuan hari baik masing-masing hingga melihat latar belakang lawan.

Carok, bagi masyarakat Madura, dianggap sebagai urusan laki-laki. Bukan urusan perempuan. Itu terlihat dari ungkapan: oreng lake' mate' acarok, oreng bine' mate' arembi'. Artinya, laki-laki mati karena carok. Perempuan mati karena melahirkan. 

Ungkapan itu adalah indikasi bahwa orang Madura memaknai carok sebagai hal yang memiliki kesamaan dengan melahirkan. Sebab, keduanya mempunyai risiko kematian. 

Tapi jika hal itu dimaknai dari perspektif tradisi, dapat disebut bahwa laki-laki mati karena carok adalah wajar. Sama wajarnya dengan perempuan yang meninggal karena melahirkan.

BACA JUGA: Tragedi Tanah Merah, Benarkah Carok?

Namun, jika dalam perspektif gender, itu menjadi tidak tepat. Sebab, melahirkan adalah kodrat perempuan yang berlaku universal. Sedangkan laki-laki yang melakukan carok merupakan manifestasi dari sebuah realitas sosial Madura yang telah diterima, dan menjadi kesepakatan umum.

"Dalam pandangan tradisi silam, jika seorang pria dilecehkan harga dirinya, tapi ia tak berani melakukan carok, maka orang lain akan mencemoohnya dengan sebutan lo' lake', atau bukan laki-laki," ujar Hidrochin Sabarudin (Abah Doink), budayawan Madura. 

Kultur itulah yang membuat carok begitu sering dilakukan pada masa lalu, bahkan hingga kini, yang terwujud dalam pertikaian-pertikaian yang dianggap "carok".

Tapi dalam tahapan-tahapannya, terdapat beberapa hal yang berpotensi menggagalkan duel carok. Atau kalau pun terjadi, prosesnya butuh waktu lama. Mulai dari remo carok, proses pertemuan antar-blater yang bisa sampai tiga-empat kali, kemudian menentukan waktu dilakukannya carok.

"Dalam duel carok, jarang ada yang sama-sama mati. Bahkan sepengetahuan saya tak ada. Karena masing-masing punya perhitungan hari nahas. Dalam bahasa Madura disebut dina naas," ujarnya.

Masing-masing pihak yang bertikai tentu telah melakukan penelitian tentang hari, bulan, tahun, bahkan jam lahir lawannya. "Sebut saja Si A telah mengetahui dina naas Si B. Setelah diketahui, akan diajukan tanggal duel, yang sesuai dengan dina naas lawannya itu. Dengan tujuan supaya Si B itu mudah dikalahkan. Karena ia bertanding saat hari nahasnya," terangnya.

Demikian pula dengan Si B. Pengajuan hari itu tentu ditolak. Karena ia tahu bahwa tanggal itu adalah dina naas-nya. Lalu diajukan tanggal duel oleh Si B, yang sesuai hari nahas Si A. "Ditolak lagi sama Si A. Masing-masing mencari tanggal lagi. Enggak selesai-selesai. Sampai ditemukan hari yang dianggap benar-benar menguntungkan bagi kedua belah pihak," tutur budayawan 64 tahun itu.
Buku Carok karya Dr Latief Wiyata yang ditunjukkan Hidrochin Sabarudinief Wiyata pada Harian Disway. -Julian Romadhon-HARIAN DISWAY

Hari yang baik dianggap sebagai hari yang memberi perlindungan pada seseorang. Jika dinilai sama-sama baik, maka tinggal faktor keberuntungan atau penguasaan beladiri saja yang menentukan kemenangan. "Penentuan tanggal itu bisa berjalan sangat lama. Blaterlah yang setiap saat bertemu dengan blater pihak lawan. Demi mendiskusikan tanggal itu," terangnya.

Faktor mengetahui latar belakang lawan juga menjadi penentu jadi tidaknya carok. Apabila seseorang yang dilawan memiliki trah ulama, atau tokoh penting, maka pihak yang menantang akan mundur. Bukan tidak berani, melainkan kultur orang Madura sangat menghormati ulama. Melawan ulama atau keturunannya bisa mendatangkan kualat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: