Kolaborasi Kemaritiman untuk Ketahanan Pangan

Kolaborasi Kemaritiman untuk Ketahanan Pangan

Narasumber konferensi di antaranya Dr Makram Khoury Machool dari Palestina (kiri) yang menyuarakan pentingnya isu kemanusiaan di Asia, bukan isu konflik agama atau politik. -Didik-

Terkait masalah perbatasan wilayah laut, penanggulangan illegal fishing yang hingga saat ini merugikan Indonesia hingga ratusan triliun rupiah yang perlu segera diselamatkan. Serta masalah lainnya seperti drug and human trafficking, perompakan, terorisme, dan lain-lain.
Di halaman ruang depan lokasi konferensi di Paris Sorbonne bersama Dr Ario Bimo Utomo, seorang dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jatim. -Didik-

Bagi Indonesia, isu tentang ketahanan pangan adalah isu yang sangat serius mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang sangat banyak dan padat penduduknya. Yakni sekitar 276 juta jiwa. Bahkan bisa menjadi 300-an juta jiwa pada 2050.

Berdasarkan data Global Food Security Index (GFSI) pada 2022, Indonesia termasuk negara yang indeks ketahanan pangannya lebih rendah dibanding dengan negara-negara tetangga di Asia Pasifik. Yakni baru mencapai 60,2. Sedangkan rata-rata negara tetangga telah mencapai 63,4.

Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut United Nation Convention on Law of Sea (UNCLOS), negara kepulauan memiliki wilayah laut teritorial, landas batas kontinen, dan Zona Ekonomi Ekslusif. Artinya Indonesia memiliki hak ekonomi untuk memanfaatkan sumber daya perikanan untuk ketahanan pangan yang sangat luas. 

Tapi sayang karena keterbatasan modal, teknologi, pengetahuan, dan keterampilan SDM, ditambah budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas bukan “pemakan makanan hasil laut” membuat kegiatan ekonomi pada sektor ini kurang menonjol dibanding dengan sektor lain.

Pada sisi lain, di wilayah-wilayah perbatasan teritorial, apalagi di Zona Ekonomi ekslusif kapal-kapal penangkap ikan asing justru banyak yang melakukan penangkapan ikan (sebut saja pencurian ikan) yang menurut Guru Besar Perikanan dan Mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri, illegal fishing ini setiap tahunnya merugikan Indonesia nilainya hingga ratusan triliun rupiah.

Indonesia pernah memiliki sejarah yang cemerlang dalam rangka mengelola SDA agar terhindar dari konflik dan perebutan yang menimbulkan konflik. Yaitu dengan menerapkan skema PSC sebagai bentuk pengelolaan SDA yang kolaboratif bersama pemain-pemain global. Sehingga Indonesia selamat dari perpecahan rebutan minyak seperti yang terjadi di Timur Tengah. Skema PSC ini diadopsi dan diterapkan di lebih dari 70 negara di dunia.

BACA JUGA: Pesan buat Presiden Terpilih: Pungli Pegawai KPK dan Khotbah Don Quixote

Di sektor perikanan Indonesia punya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Terutama dalam Pasal 1 huruf a. Ketentuan ini seharusnya bisa dijadikan underlying bagi penerapan PSC internasional di sektor perikanan tangkap. Karena filosofi dan prinsipnya sama sehingga akan meningkatkan kolaborasi di Asia, mencegah, dan menanggulangi ketegangan/konflik perbatasan laut dan yang sangat vital dan strategis, untuk menjaga ketahanan pangan.

Langkah ini mungkin akan lebih strategis dari sisi ekonomi dan pertahanan serta keamanan ketimbang kebijakan food estate yang kontroversial itu. (*)

Oleh: Didik Sasono Setyadi, Dosen Tamu di Universite Le Havre Prancis dan Sekolah Pascasarjana Unair

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: