Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, 2 Ormas Bersaudara, Raih Zayed Award

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, 2 Ormas Bersaudara, Raih Zayed Award

ILUSTRASI Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, 2 Ormas Bersaudara, Raih Zayed Award. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Yang berbeda adalah strategi dakwah, metodologi dalam memahami ajaran agama, budaya berorganisasi, dan sasaran dakwahnya.

Di samping itu, ada perbedaan-perbedaan yang bersifat furu’iyah (cabang) dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agama. Beberapa peneliti juga membedakan segmentasi dakwah dua ormas bersaudara itu. Dakwah Muhammadiyah dikatakan lebih banyak menyasar muslim perkotaan. 

Se baliknya, sasaran dakwah NU banyak bersentuhan dengan masyarakat perdesaan. Tentu saja hasil pengamatan tersebut dapat diperdebatkan. Sebab, kini dakwah Muhammadiyah mulai bisa diterima masyarakat perdesaan dan abangan. Sebaliknya, dakwah NU juga mulai merambah muslim perkotaan dan kelas menengah.  

Sejumlah kesamaan dalam berkiprah itu makin menegaskan bahwa Muhammadiyah dan NU dapat bersinergi dalam memperbaiki kualitas umat. Karena itulah, keduanya harus lebih banyak melakukan pertemuan-pertemuan informal, saling bertegur sapa, dan menjauhkan diri dari prasangka. Intensitas komunikasi tersebut penting agar keduanya dapat berkonsentrasi untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan. 

Jika keduanya mampu bersinergi, itu akan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat bagi negeri tercinta. Bahkan, seharusnya tidak ada halangan bagi Muhammadiyah dan NU untuk bersinergi. Apalagi jika menengok sejarah hubungan pendiri Muhammadiyah dan NU. Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan merupakan sahabat pendiri NU KH Hasyim Asy’ari.

Bahkan, dua ulama besar itu pernah belajar pada guru yang sama, yakni Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Sejumlah ulama ternama Muhammadiyah juga pernah belajar di pesantren NU. Hal tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah dan NU memiliki pengalaman historis yang penting sebagai modal sosial untuk bersinergi.

 

ASET BERHARGA

Melihat kiprah Muhammadiyah dan NU dalam sejarah panjang bangsa ini, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keduanya merupakan aset yang sangat berharga. Tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU menyadari betul bahwa Indonesia adalah negara yang ber-Bhinneka. 

Meski begitu, Indonesia harus tetap Tunggal Ika. Dengan kata lain, negara ini harus berdiri tegak di atas prinsip unity in diversity (bersatu dalam keragaman). Nilai-nilai itulah yang selalu digelorakan Muhammadiyah dan NU. Dua ormas tersebut juga berkomitmen untuk menjaga Pancasila dan NKRI sebagai bagian dari konsensus para pendiri bangsa.

Komitmen Muhammadiyah dan NU terhadap perwujudan nilai-nilai Islam yang moderat dan tegaknya NKRI merupakan modal utama untuk menangkal virus radikalisme. 

Dengan mendakwahkan Islam yang moderat, inklusif, dan bermazhab tengah (wasathiyah), Muhammadiyah dan NU memiliki sumbangsih yang sangat besar bagi bangsa. Apalagi, bangsa ini berpenduduk mayoritas muslim. Bahkan, secara kuantitas, jumlah umat Islam Indonesia adalah yang terbesar dari negara Islam mana pun di dunia. 

Semua itu menunjukkan betapa besar harapan dunia Islam terhadap Indonesia. Pada konteks itulah, Indonesia sejatinya dapat menjadi mozaik Islam mazhab tengahan. 

Padahal, jika diamati, pluralitas bangsa ini dilihat dari etnis, budaya, bahasa, agama, dan paham keagamaan tergolong sangat majemuk. Namun, pluralitas itu tidak menghalangi bangsa ini untuk hidup berdampingan dengan menerapkan nilai-nilai agree in disagreement (bersepakat dengan perbedaan). 

Jika ditanyakan mengapa Indonesia sukses mengelola kemajemukan? Salah satu jawabannya adalah keberhasilan dakwah Muhammadiyah dan NU. Sulit dibayangkan jika negara ini tidak memiliki aset berharga seperti Muhammadiyah dan NU. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: