Semesta Simbol Hari Musik Nasional 2024 (4): Musik Membangun Bangsa Bahas Dampak Musik
Diskusi Musik Membangun Bangsa dalam rangka Hari Musik Nasional menghadirkan para narasumber dan pakar musik. -M Azizi Yofiansyah-HARIAN DISWAY
SURABAYA HARIAN DISWAY - Musik memberi pengaruh bagi diri. Pun menjadi sarana membangun negeri. Dalam perjuangan kemerdekaan, lagu-lagu yang menggelorakan nasionalisme digemakan. Seperti Indonesia Raya dan Di Timur Matahari karya WR Supratman.
Untuk mengetahui sejauh mana dampak musik, dalam rangka Hari Musik Nasional 2024 digelar diskusi musik bertema Musik Membangun Bangsa pada hari kedua gelaran Hari Musik Nasional 2024 Sabtu, 9 Maret 2024. Tentang pengaruh musik dalam diri. Termasuk untuk membangun nasionalisme dan semangat cinta tanah air.
Diskusi menghadirkan Eddy Irawan, Ketua Kinerja Apresiasi dan Literasi Musik dari Dirjen Perfilman, Musik, dan Media, Kemendikbudristek. Kemudian peneliti musik Dr Henry Susanto Pranoto dari Universitas Ciputra, serta Dr Joko S Gombloh, peneliti musik dari UNS Solo.
BACA JUGA: Semesta Simbol Hari Musik Nasional 2024 (3): Keluarga WR Supratman Tolak Film Wage
Narasumber "orang yang terdampak musik" ada tiga orang. Yakni Cep Ocim, fans Gombloh asal Serang, Banten, Djoenaedi, penggemar Iwan Fals asal Surabaya, serta Cak Dauri, LKers atau fans Leo Kristi yang berdomisili di Solo.
Eddy Irawan dari Kemendikbudristek menjelaskan tentang pentingnya musik dan karya-karya positif untuk membangun karakter bangsa. -M Azizi Yofiansyah-HARIAN DISWAY
Dr Henry menyebut bahwa musik tak sekadar sebagai action, atau sebatas pementasan bersifat hiburan. "Tapi lebih ke dalam jiwa manusianya juga. Musik mempengaruhi psikis manusia untuk berekspresi. Sehingga dapat melakukan perubahan," ungkapnya.
Sedangkan Dr Joko mengungkapkan bahwa musik tak hanya yang dilihat atau didengar. Tapi bagaimana musik itu menjadi kebutuhan manusia. Musik melampaui segalanya. “Maka, untuk membuktikan dampak musik yang begitu kuat dapat dilihat dari kesaksian tiga narasumber fans musisi populer tersebut,” katanya.
Ocim adalah fans Gombloh sejak duduk di bangku SMP. Ia belajar lagu-lagu Gombloh dari tetangganya, hingga betul-betul mengidolakan penyanyi kelahiran Jombang itu. "Sampai pada 1988, saya melihat berita dari televisi hitam-putih di sebuah warung. Ada tayangan yang mengabarkan Gombloh meninggal. Sejak itu saya depresi berat," katanya.
"Mungkin jika diibaratkan lagunya Gombloh, ada yang judulnya Setengah Gila, Gila, dan Semakin Gila. Saya mengalami itu semua. Dirawat karena depresi selama satu tahun lebih. Jenis depresinya tidak bisa tidur. Maunya nyanyi lagu Gombloh, bahkan merasa bahwa diri saya adalah Gombloh," kata ayah dua anak itu.
Peneliti musik UNS Solo Joko S Gombloh menyebut bahwa musik telah melampaui segalanya. Bukan lagi sebatas hiburan atau kepentingan komersil semata. -M Azizi Yoviansyah-
Pasca-sembuh, Ocim mulai bangkit. Perlahan-lahan ia menata hidup. Membentuk grup musik, kemudian mengajar musik di beberapa sekolah dan panti asuhan di Jawa Barat. Hingga ia membentuk Rumah Balada Indonesia. Membina musisi-musisi muda dan membuat mereka suka dengan lagu Gombloh.
"Saya tidak bisa lepas dari Gombloh. Jiwa sosial beliau tinggi. Maka saya juga harus begitu. Menularkan semangat positif pada anak-anak muda. Membuat mereka tahu bahwa Indonesia punya musisi hebat seperti Gombloh," terang pria 56 tahun itu.
Ia pun berhasil mengembangkan fanpage Memories of Gombloh di media sosial yang kini followersnya hampir mencapai 10 ribu. Pun, menjadi sesepuh atau pembina Mogers atau fans Gombloh di Surabaya.
Jika Ocim adalah penggemar Gombloh, Djoenaedi merupakan fans Iwan Fals atau Fals Mania. Ia penyandang disabilitas. Namun, meski berkursi roda dengan segala keterbatasan, Djoenaedi tak kenal lelah untuk selalu memburu konser Iwan Fals. Sebagian besar konsernya pernah didatangi. Bahkan sampai ke luar kota.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: