Gerbong Lawu

Gerbong Lawu

ILUSTRASI Kereta Argo Lawu.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Itu tahun lalu. Ada peristiwa yang tak terduga. Ketika masuk gerbong, kursi yang menjadi jatah tempat duduk kami ternyata sudah terisi. Setelah berdebat lama dengan petugas kereta, ternyata kursi itu telah ditempati pegawai kereta. Kacau juga.

BACA JUGA: Gerbong Panoramic Pindah ke KA Argo Wilis dan Parahyangan

Yang membedakan, kereta di Eropa relatif lebih kedap suara. Lebih senyap jika dibandingkan dengan kereta kita, meski yang new generation pula. Mungkin karena kualitas logamnya. Juga, kualitas rel yang lebih kokoh dengan konstruksi yang kuat. Bahkan untuk kereta di negara berkembang seperti Republik Ceko yang beribu kota Praha.

Akhir tahun lalu saya ke Hungaria. Setiap kali naik kereta dua jam dari Budapest ke Eger. Inilah kota tempat anak saya kuliah seni selama satu semester. Hungaria tergolong negara berkembang di Eropa. Tapi, keretanya kokoh dan leboh kedap suara.

Di Indonesia saya belum pernah naik kereta cepat. Tapi, saya pernah naik kereta yang sama dalam perjalanan Makkah-Jeddah dan Madinah. Yang kecepatannya bisa melampaui 300 kilometer per jam. 


INILAH kursi penumpang di gerbong kereta api Argo Lawu. Nyaman, bersih, empuk. -ARIF AFANDI UNTUK HARIAN DISWAY-

Kereta cepat buatan Tiongkok itu masih kalah dalam hal kedap dan kebisingan bila dibandingkan dengan kereta cepat di Eropa.

Yang kurang dari kereta di Indonesia adalah rak untuk koper besar. Hanya ada rak koper kabin yang ada di atas kepala. Padahal, itu penting untuk para penumpang yang membawa koper besar. Kereta cepat di Arab juga sama. Dengan demikian, penumpang tak bisa bawa koper besar jika menggunakan kereta cepat untuk perjalanan antarkota. 

Tapi, apa pun juga kita perlu bangga dengan transformasi perkeretaapian kita. Dari yang begitu sangat tertinggal menjadi yang bisa dibanggakan sekarang. Termasuk MRT dan LRT yang menjadi andalan angkutan publik di Jakarta sekarang.

Yang masih terpikir sampai sekarang, kenapa ada kereta Argo Lawu yang berangkat dari Solo dan Taksaka dari Yogyakarta. Yang jarak keberangkatannya hanya selisih setengah jam? Apakah karena proyeksi penumpang yang besar dari kedua kota itu? Atau, karena ”persaingan” keduanya?

Kalau kemarin memilih naik Argo Lawu, itu karena saya ingin tahu bedanya dengan Taksaka. Bukan karena secara budaya saya condong ke Solo ketimbang Yogyakarta. Ternyata gerbong Lawu sama saja dengan gerbong Taksaka. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: