Membaca Kegagalan PPP di Pemilu 2024

Membaca Kegagalan PPP di Pemilu 2024

Ilustrasi. Partai Persatuan Pembangunan gagal melewati ambang batas minimal parliamentary treshold pada Pemilu 2024 yang membuat mereka tidak bisa duduk di Senayan--

Meskipun akhirnya partai menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi, namun saat sebelum Pilpres, PPP menjadi partai yang berlawanan dengan PDIP.

BACA JUGA:Sekeluarga Loncat dari Apartemen, Bunuh Diri atau Dibunuh?

Melihat dari latar belakang ideologi, PPP yang bercorak partai Islami (islamist party) menurut kategori Pepinsky, et. al. (2008) secara cepat bergandeng tangan dengan PDIP yang bercorak nasionalis-sekuler merupakan praktik di luar kebiasaan. 

Dalam catatan pasca Reformasi 1998, partai Islami seperti PKS, PBB dan PPP sangat berhati-hati dalam membangun koalisi dengan partai nasionalis-sekuler. 

Kalaupun terjadi, hal tersebut murni karena pertimbangan politik pragmatis (office seeking—istilah lain untuk mencari jabatan—menurut Riker;1970) yang terjadi setelah Pilpres bukan sebelum, apalagi jauh sebelum Pilpres terjadi. 

Pertimbangan tersebut dilakukan untuk menjaga hubungan partai dengan konstituen sekaligus sebagai bentuk pertanggung jawaban atas posisi ideologi dengan partai lain yang memiliki platform berseberangan.

Pembacaan atas kegagalan tersebut masih bisa dibantah karena banyak variabel yang selalu menyertai dalam Pemilu terutama faktor kesiapan logistik, kemampuan Caleg, dan keterbatasan jaringan. 

Namun dalam kasus PPP, beberapa pertimbangan di atas dapat dijadikan referensi dalam menyusun strategi di Pemilu 2029 nanti agar kembali bersaing di Senayan. Karena partai-partai Islam seperti PKB, PAN dan PKS juga menyusun strategi lain untuk mengambil alih suara PPP yang hangus di Pemilu 2024.


Prof. Dr. Abdul Chalik, M.Ag, Guru Besar Politik Islam dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya-FISIP UINSA-

 

 

(*)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: