Model Murni Korporat atau Semibirokrat: Format Ideal Tata Kelola Sumber Daya Alam

Model Murni Korporat atau Semibirokrat: Format Ideal Tata Kelola Sumber Daya Alam

ILUSTRASI model murni korporat atau semibirokratdalam mengelola sumber daya alam Indonesia yang dinakhodai Prabowo-Gibran. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dengan kata lain, ”negara” menjadi sangat banyak hadir dalam kegiatan pengelolaan SDA yang selama ini lebih banyak dioperatori oleh swasta (asing). Dengan demikian, sekarang tidak lagi bisa dikatakan berjalan dalam mekanisme ”bisnis seperti biasanya”.                 

Melihat kenyataan itu, saya menjadi teringat sejarah Eropa sebelum terjadinya Revolusi Prancis. Dahulu kala ada catatan sejarah yang menarik untuk diingat, yaitu ketika menteri keuangan Prancis pada zaman kekuasaan Raja Louis XIV, namanya Jean Baptiste Colbert, dalam suatu pertemuan dengan para pelaku bisnis/kaum borjuis di negaranya, mengajukan pertanyaan. 

”Apa yang bisa dilakukan negara/kerajaan untuk menolong kalian?” Tiba-tiba ada seseorang yang menjawab ”Laissez-nous faire!” (Let us alone), ’Biarkan kami sendiri’. Maka, sejak itulah terkenal ajaran Laissez Faire yang dipedomani oleh kaum kapitalis-liberalis.  

Jawaban tersebut tentu mengagetkan Collbert. Padahal, ia mengira bahwa para pelaku bisnis itu akan minta ini dan itu kepada penguasa. Namun, ternyata mereka justru menginginkan agar penguasa hanya memberikan kondisi iklim persaingan usaha berlangsung sehat, menjamin kepastian hukum dan ketertiban sosial, mengakui kepemilikan/aset privat, serta menjaga kedaulatan teritori negara dari ancaman negara lain. 

Dalam jawaban itu tersirat dan tersurat bahwa mereka tidak ingin negara terlalu banyak turut campur dalam urusan swasta. Hal itulah yang kemudian berkembang menjadi doktrin sebagai ideologi politik pemerintahan model ”Laissez Faire”, yaitu ”that is best which is governs least”. Pemerintah yang terbaik adalah (pemerintah) yang paling sedikit memerintah. 

Doktrin tersebut diamini Adam Smith dalam The Wealth of Nation (1776). Oleh sebab itulah, kapitalisme dan liberalisme berkembang pesat di negara-negara Barat. 

Namun, pada sisi lain, ternyata di kemudian hari warga negara (rakyat) juga menyadari bahwa manusia sejak lahir, masuk sekolah, dirawat di rumah sakit, melaksanakan perkawinan, hingga menyelenggarakan pemakaman tidak bisa lepas dari campur tangan pemerintah. 

Pemerintah justru tidak boleh tinggal diam. Pemerintah harus hadir di mana-mana, termasuk dalam sektor bisnis/perniagaan. Hal itulah yang disebut dengan istilah omnipresence (hadir di mana-mana). 

Austin Ralley dalam bukunya, Government of Men (1971), menjelaskan itu semua. Lantas, apakah program makan siang gratis yang digaungkan pasangan Prabowo-Gibran adalah penanda bahwa pemerintah akan makin banyak campur tangan urusan warga negaranya? 

Dalam tataran ekstrem, bila negara sangat sedikit turut campur, pengelolaan SDA akan berwajah ”murni korporat”. Sebaliknya, bila pemerintah terlalu banyak hadir di mana-mana (di setiap urusan pengelolaan), wajahnya bisa ”semibirokrat”. 

Konsep Laissez Faire akan mengakibatkan model tata kelola murni korporat. Sebaliknya, konsep Omnipresence akan mencerminkan wajah yang lebih ”semibirokrat”. 

Bumi, tanah, dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Demikian kata konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Dengan norma seperti itu, rakyatlah pada hakikatnya yang menjadi pemilik SDA yang sesungguhnya paling berkompeten untuk menentukan apakah sebaiknya negara perlu/tidak untuk banyak cawe-cawe/campur tangan dalam pengelolaan/pengusahaan SDA. 

Apalagi, dewasa ini kesejahteraan rakyat tidak hanya dapat dilihat dari sudut  kesejahteraan ekonomi saja. Namun, juga kesejahteraan dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development). 

Yakni, urusan penjagaan/pelestarian lingkungan (ekologis) membutuhkan campur tangan atau setidaknya pengawasan pemerintah yang lebih banyak. Oleh karena itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus menentukan bagaimana sebaiknya SDA itu dikelola dengan model seperti apa? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: