FGD Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Bali (2-Habis): Literasi Digital untuk Mencegah Risiko Transaksi Digital
ILUSTRASI FGD Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Bali (2-Habis): Literasi Digital untuk Mencegah Risiko Transaksi Digital -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA: FGD dan Rapat Pimpinan Universitas Airlangga (2-Habis): Membangun Reputasi PT di Tingkat Global
Kehadiran QRIS Tuntas makin memudahkan aktivitas transaksi perbankan. Jika awalnya hanya sebagai alat pembayaran, kini QRIS bisa digunakan untuk melakukan transfer, tarik tunai, dan setor tunai.
QRIS Tuntas memudahkan pengguna sehingga bisa melakukan transaksi tarik tunai, setor tunai, hingga transfer ke bank lain hanya menggunakan QR code. Bahkan, transaksi tidak hanya bisa dilakukan melalui ATM, tetapi bisa lewat agen QRIS seluruh Indonesia. Para konsumen umumnya diuntungkan berkat kehadiran QRIS Tuntas itu.
Menurut data, pada kuartal I-2024 nominal transaksi QRIS dilaporkan tumbuh 175,44 persen secara year-on-year (YoY) dengan jumlah pengguna mencapai 48,12 juta dan jumlah merchant 31,61 juta hingga saat ini. Penggunaan QRIS di negara lain juga terbukti memperluas penggunaan local currency transaction (LCT).
Selama ini Bank Indonesia telah mengembangkan upaya untuk memperkuat dan memperluas kerja sama internasional dengan bank sentral dan otoritas negara mitra, khususnya di area kebanksentralan, termasuk mempercepat konektivitas pembayaran dan LCT.
Sebagai media pembayaran di era digital, kehadiran QRIS harus diakui telah terbukti memberikan sejumlah manfaat. Meski demikian, tidak berarti kehadiran QRIS tidak mengidap risiko.
Pertama, di balik kemudahan bertransaksi secara digital melalui QRIS, kehadiran sistem pembayaran digital itu harus diakui juga berpotensi memicu munculnya perilaku masyarakat yang makin konsumtif dan boros.
Seperti dikatakan Novi dalam paparannya, di era sistem pembayaran digital yang makin mudah, seseorang yang hanya punya sedikit uang bukan tidak mungkin melakukan perjalanan rekreasi ke berbagai tempat wisata karena kemudahan mereka bertransaksi, mulai pembelian tiket hingga pesan hotel.
Karena kemudahan bertransaksi, kemungkinan masyarakat untuk kehilangan kontrol menjadi lebih besar sehingga apa yang dilakukan adalah berbelanja secara berlebihan yang membuat mereka seperti ”lebih besar pasak daripada tiang”.
Kedua, kemudahan melakukan sistem pembayaran secara digital dalam beberapa kasus terkadang tanpa sadar masuk wilayah cyber crime. Akibat belum dilandasi kesadaran dan pengetahuan hukum yang memadai seputar transaksi digital, bisa saja ada masyarakat yang masuk perangkap mafia tindak kejahatan siber.
Kegiatan masyarakat berbelanja dan melakukan transaksi secara digital terkadang tanpa sadar membuat masyarakat berpotensi menjadi korban tindak cyber crime. Identitas pribadi masyarakat yang masih belum terlindungi dengan baik sering dimanfaatkan oknum tertentu untuk kepentingan bisnis dan tindak kejahatan.
Itulah situasi paradoksal yang dihadapi masyarakat ketika di satu sisi mereka makin dimudahkan dalam bertransaksi, tetapi di saat yang sama mereka juga makin rawan menjadi korban tindak cyber crime.
LITERASI DIGITAL
Dalam rangka menyikapi kemungkinan risiko buruk di balik meningkatnya transaksi digital dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia selama ini telah berusaha mendorong penguatan literasi digital serta manajemen risiko bagi penyelenggara dan masyarakat.
Bersamaan dengan meningkatnya digitalisasi sistem pembayaran dan perluasan ekosistem ekonomi keuangan digital (EKD) melalui penggunaan QRIS, Bank Indonesia juga berusaha agar masyarakat tidak menjadi korban cyber crime.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: