Meneroka Kebijakan Luar Negeri Prabowo (2-Habis): Implikasi dan Tantangan

Meneroka Kebijakan Luar Negeri Prabowo (2-Habis): Implikasi dan Tantangan

ILUSTRASI Implikasi dan tantangan kebijakan luar negeri Prabowo Subianto. Prabowo akan pilih Indo Pacific Economic Framework (IPEF) atau Belt and Road Initiative (BRI)-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

GEJOLAK INDO-PASIFIK DAN PERAN PENTING INDONESIA

Indonesia di bawah Prabowo harus meredefinisi posisinya secara konkret. Untuk itu, Indonesia perlu menjaga keseimbangan antara kekuatan-kekuatan besar seperti AS dan Tiongkok. 

Selain itu, terdapat Rusia yang menyatakan akan cawe-cawe dalam urusan Timur Tengah bila AS terlibat aktif dalam urusan konflik Iran-Israel. 

Indonesia harus menentukan posisinya secara konkret yang selama ini dianggap nonblok, tetapi cenderung membiarkan tensi konflik yang berpotensi untuk menimbulkan krisis berkepanjangan dalam lintas bidang seperti ekonomi dengan berfluktuasinya harga komoditas energi seperti migas, berimbas pada naiknya kurs dolar atas rupiah dewasa ini.

Meminjam kutipan dari istilah yang pernah muncul pada saat pengukuhan guru besar hubungan internasional Prof I Gede Wahyu Wicaksana, pendekatan multiblok dirasa menjadi solusi untuk menambal kelemahan pendekatan nonblok yang selama ini ditempuh. 

Pendekatan multiblok dapat memungkinkan Indonesia untuk melakukan selective alignment dengan negara tertentu pada konteks situasi tertentu. Sebagai contoh, dalam menandingi keberadaan Tiongkok di kawasan, Indonesia perlu untuk merangkul AS dalam konteks mengadakan persenjataan yang sekiranya dapat menjadi daya gentar bagi Tiongkok. 

Sebaliknya, untuk mencegah pengaruh AS yang lebih meluas, Indonesia dapat bergabung pada wahana dialog militer yang diinisiasi baik oleh pihak Tiongkok maupun Rusia.

Pasalnya, di tengah tantangan geopolitik yang berkecamuk, Indonesia justru tidak mendapatkan apa pun keuntungan dari relasi yang selama ini terjalin, terutama dengan kekuatan-kekuatan besar. 

Indonesia terkesan tidak dipandang sebagai negara dengan prospek besar dalam keberpihakan pada sikap nonblok yang dalam hal ini diartikan bahwa Jakarta dan Nusantara akan selalu mengambil sikap netral atau abstain dalam menanggapi isu-isu penting yang membutuhkan suatu keberpihakan. 

Pada kasus Palestina-Israel, misalnya, perjuangan Indonesia untuk mengedepankan two-state solution seakan bertentangan dengan opini publik mayoritas masyarakat Indonesia yang menghendaki Indonesia tidak mengakui sedikit pun kedaulatan Israel yang selama ini menindas Palestina.

Terlebih, dalam kasus Palestina-Israel, Prabowo dikenal dekat dengan Yordania yang rajanya merupakan sahabat dekat ketika ia tiga bulan di negara tersebut. Posisi Yordania yang pragmatis di balik Israel dalam kasus serangan Iran ke Tel Aviv beberapa waktu lalu pun ditengarai menimbulkan pertanyaan besar, tentang keberpihakannya kepada Palestina. 

Meski, Indonesia dapat akses masuk untuk pasokan bantuan logistik ke Palestina yang salah satunya melewati Yordania. Akses Prabowo yang berkawan dengan tokoh-tokoh penting di dunia seyogianya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan nasional Indonesia.

Belum lagi di Indo-Pasifik, Indonesia menghadapi dua blok keamanan besar yang sedang mencoba menandingi pengaruh Tiongkok di kawasan melalui Quadrilateral Security Dialogue (QUAD) dan aliansi antara Australia, Inggris, dan AS melalui AUKUS. 

Indonesia harus proaktif menyikapi wacana pengadaan kapal selam bertenaga nuklir Australia dari Inggris. Mengingat, Indonesia di ASEAN mengenal prinsip Southeast Asia Nuclear War Free Zone (SEANWFZ) dan Indonesia termasuk negara yang menandatangani Traktat Non-Proliferasi (NPT). 

Ketegasan Prabowo sebagai purnawirawan jenderal tentu diperhitungkan dalam menanggapi ketegangan di kawasan dan dengan tetap berhati-hati memperhatikan konstelasi regional yang saat ini mencuat di tengah-tengah persaingan blok AS dengan Tiongkok. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: