Pengembangan Budaya Akademik di Indonesia (2-Habis): Meneliti dan Memasak, Sebuah Ilustrasi
ILUSTRASI Pengembangan Budaya Akademik di Indonesia (2-Habis): Meneliti dan Memasak, Sebuah Ilustrasi .-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Sedangkan untuk bidang keilmuan noneksakta lebih sesuai pada TKT 1-4 dan sebagian TKT 4-6, juga sebagian TKT 7-9. Setiap bidang keilmuan memiliki karakteristik dan saling melengkapi dalam pengembangan khazanah keilmuan.
Yang paling penting untuk dikembangkan adalah menghabituasi untuk meneliti dan menuangkannya dalam tulisan supaya dapat dibaca oleh orang lain, sekalipun terhadap hal-hal yang sederhana di sekitar kehidupan yang dijalani.
Meneliti tidak selalu menggunakan teori-teori yang kadang seseorang juga malah bingung memahami teori sehingga tidak jadi meneliti karena bingung. Justru aktivitas meneliti tentang hal-hal yang sederhana dan dituangkan dalam sebuah tulisan akan menghasilkan teori atau temuan-temuan baru.
Biarlah para ahli atau akademisi yang akan membaca tulisan tersebut. Siapa tahu mereka dapat merumuskan sebuah teori atau minimal konsep baru dari hal-hal yang sederhana tersebut.
Prinsip yang perlu dipegang dan diimplementasikan adalah tulislah apa dilakukan sekalipun terhadap hal-hal yang kecil dan sederhana (meneliti) dan lakukanlah apa yang telah diteliti, yang berarti ekspansi ke arah TKT 4-6 (terapan) dan TKT 7-9 (pengembangan).
Oleh karena itu, ilustrasi yang digunakan untuk analogi dalam tulisan ini adalah meneliti itu mudah seperti mudahnya orang memasak. Aktivitas meneliti tinggal dilatih dan didampingi tentang bagaimana cara menuangkan dalam sebuah tulisan sederhana dan mudah dipahami.
Selamat menindaklanjuti dengan aksi nyata, khususnya bagi para akademisi, baik guru pada jenjang pendidikan dasar, menengah, maupun atas dan yang sederajat, serta para insan akademik di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset.
Dengan meneliti, ilmu akan berkembang, bermanfaat untuk kehidupan dan sekaligus sebagai amal jariyah yang tidak akan pernah putus sekalipun peneliti atau penulisnya telah meninggal dunia. Apalagi kalau karya tersebut dibaca secara turun-temurun.
Monumen yang terbaik adalah berupa karya nyata, baik berupa tulisan maupun karya-karya nyata lainnya. (*)
Muhammad Turhan Yani, direktur LPPM Universitas Negeri Surabaya dan dan ketua Komisi Pendidikan MUI Provinsi Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: