Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (3): Gaji Bergantung Omzet, Warung Pun Jadi Mess

Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (3): Gaji Bergantung Omzet, Warung Pun Jadi Mess

Aktivitas Misriah, penjaga warung Madura di Jalan Menur Pumpungan, Surabaya, beberapa waktu lalu.-Sahirol Layeli/Harian Disway-

Sistem kepegawaian warung Madura masih begitu tradisional. Mulai cara rekrutmen, pola penggajian, hingga menanggung kebutuhan sehari-hari karyawan. Sistem itu pun terbukti ikut mengangkat kesejahteraan karyawan.

—----

SULIT menemukan warung Madura yang dijaga oleh pemiliknya langsung. Harian Disway mengelilingi sejumlah kecamatan di Kota Surabaya pada Jumat siang, 11 Mei 2024. Seperti Gubeng, Tambaksari, Sukolilo, hingga Wonocolo. 

Dari puluhan warung yang kami jelajahi, semuanya dijaga oleh karyawan. Bahkan, termasuk warung yang kecil sekalipun. 

Seperti di Jalan Menur Pumpungan. Jalan dua arah itu amat sempit. Pejalan kaki harus lebih waspada karena tak ada trotoar di sana. Badan jalan langsung berdempetan dengan muka bangunan.

Dengan posisi itulah, ada satu warung Madura yang nyempil. Ukuran warungnya tentu sangat mungil. Pinggiran aspal jalanan hanya berjarak tak sampai setengah meter dari lemari bensin eceran

Ketika batang hidung saya mendekat ke etalase, Misriah beranjak dari tikar di baliknya. Dia perlu naik dingklik lebih dulu supaya bisa meletakkan siku di atas etalase itu. Sementara sang suami, Samsul Arifin, tampak tidur tengkurap mengenakan sarung dan telanjang dada di belakangnya.

BACA JUGA:Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (1): Bermula dari Jakarta, Menyebar ke Tiap Sudut Kota

“Istirahat, capek. Dia jaga mulai tengah malam sampai jam 6 pagi tadi,” kata Misriah dengan wajah yang penuh buliran keringat. 

Pasangan suami istri asal Kraksaan, Probolinggo, itu baru tiga bulan bekerja di warung milik bosnya yang asal Sumenep. Sehari penuh menjaga warung. Bergiliran selama 24 jam. Nonstop. 

Hari-hari mereka berkutat di ruang sempit berukuran 2,5 x 2,5 meter. Bisa jadi, di tikar yang hanya cukup menampung dua tubuh itu pula mereka bercinta sebagai pasutri. Sebab, sudah tak ada lagi ruangan.

Di balik rak kayu yang dipenuhi mi instan dan aneka minuman itu hanya ada ruang sempit. Difungsikan untuk dapur darurat. Misriah pun cuma sesekali masak sendiri. Dia lebih sering membeli makanan siap santap di warung lain.

“Kalau mandi di belakang. Numpang,” jelas Misriah yang terus meladeni kami. Sembari sesekali melayani pembeli yang datang silih berganti. Tentu, bagi dua sejoli itu, bekerja sebagai karyawan warung Madura bukan kali pertama.

Sebelumnya, mereka pernah merantau ke Bekasi Utara. Juga menjaga warung Madura. Hanya dua tahun mulai awal 2022 hingga akhir 2023. Kemudian pulang ke Kraksaan untuk istirahat beberapa bulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: