Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (3): Gaji Bergantung Omzet, Warung Pun Jadi Mess

Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (3): Gaji Bergantung Omzet, Warung Pun Jadi Mess

Aktivitas Misriah, penjaga warung Madura di Jalan Menur Pumpungan, Surabaya, beberapa waktu lalu.-Sahirol Layeli/Harian Disway-

Mereka juga mengalami sistem yang sama di ibu kota. Warung menjadi mess sekaligus. Kebutuhan sehari-hari mulai dari makan hingga sabun juga ditanggung warung. Semua masih berlangsung secara tradisional.

Bahkan juga gaji yang mereka terima. Tidak diambil tiap bulan. Tetapi, dikumpulkan oleh pemilik hingga mereka mau pulang ke kampung halaman. “Dua tahun itu kami pulang bisa bawa Rp 80 juta,” ujar perempuan kelahiran 1997 tersebut.

BACA JUGA:Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (1): Bermula dari Jakarta, Menyebar ke Tiap Sudut Kota

Gaji itu didapat dari akumulasi yang rata-rata Rp 3,3 juta per bulan. Tentu itu bergantung pada omzet warung bulanan. Begitu pula di Surabaya saat ini.

Dalam sehari, omzet warung berkisar Rp 2 juta-Rp 3 juta. Menurut Misriah, nilai itu cukup kecil ketimbang di Jakarta. Ini karena warung Madura semakin menjamur sekarang. Sehingga persaingan juga lebih ketat.

Misriah sendiri memang sengaja memilih bekerja di Surabaya. Dia mendapat info lowongan kerja (loker) dari mantan bosnya di Jakarta. Sudah sesuai harapan. Karena Misriah dan suami ingin lebih dekat dengan anak yang mereka tinggal di kampung halaman. 

Hal yang sama juga dirasakan oleh Umi Sofiana, warga asal Dungkek, Sumenep. Ibu dua anak ini menjaga warung Madura di Karang Menjangan. Persis di deretan ruko seberang Politeknik Kesehatan Surabaya. 

Dia sedang mengenakan pakaian si bungsu yang berusia 6 tahun. Mereka berbincang dengan bahasa Madura. Umi sendiri baru sebulan menjaga warung milik si bos yang juga warga Sumenep.


WARUNG MADURA selalu buka 24 jam nonstop. Seperti Toko Ikhtiar yang berada di Jalan Dharmawangsa, Surabaya, ini-Sahirol Layeli/Harian Disway-

“Saya dulu njaga di Kenjeran, ini sementara nggantikan adik yang kecelakaan,” terang Umi dengan logat Madura yang khas. Umi beserta suami dan anak juga tinggal di warung yang berdempetan dengan muka gang itu. Sementara putri sulung mereka yang masih SMP ditinggal di kampung halaman.

Umi dan suami sudah tiga tahun bekerja sebagai penjaga warung Madura di Surabaya. Sudah tiga kali pula berganti bos. Mereka mendapat informasi loker dari mulut ke mulut. Lalu melamar lewat chat WhatsApp.

Tetapi, berbeda dengan Misriah, Umi menerima gaji tiap bulan. Nilainya bergantung pada omzet warung. Dalam sehari, omzet bisa tembus hingga Rp 7 juta. Lalu Umi harus menyisihkan 10 persen senilai Rp 700 ribu.

Nah, uang yang disisihkan itu kemudian ditabung sebulan. Kemudian dipotong untuk bayar cicilan kontrakan warung. Sisanya baru bagi hasil dengan pemilik. Dalam sebulan, rata-rata, Umi dan suami total digaji Rp 6 juta-Rp 7 juta. 

“Jadi nggak mesti gitu, tergantung omzetnya dapat berapa,” jelas Umi. Tentu, keluarga Umi dan Misriah punya cita-cita yang sama. Kelak, mereka bertekad membuka warung sendiri. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: