Amad; Kisah Veteran dan Memori Satu Abad (1): Tak Pernah Sekolah, Belajar Baca di Militer

Amad; Kisah Veteran dan Memori Satu Abad (1): Tak Pernah Sekolah, Belajar Baca di Militer

Amad, veteran dan memori satu abad (1): Tak pernah sekolah, belajar baca di militer. Berkunjung ke kantor Harian Disway, Amad bercerita tentang masa kecilnya yang keras.-Sahirol Layeli-HARIAN DISWAY

BACA JUGA: Pemenang Surabaya Tourism Awards (14): De Javasche Bank Ingatkan Sejarah Sistem Kliring Pertama

Di Tarik, Amad menghabiskan masa kecil hingga remaja. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, ia terpaksa bekerja sebagai pedagang minuman di kereta api. Lokasi kediamannya dulu dekat dengan Stasiun Tarik.

"Menjajakan minuman untuk penumpang kereta api. Waktu itu kereta apinya masih pakai batu bara. Kalau kena percikan baranya, baju bisa bolong," ungkapnya, sembari memeragakan kenangan itu. Ia mengangkat tangannya, kemudian menunjuk titik-titik di lengannya. 

"Bolong sini, bolong sana. Wah, kalau sampai kena kulit, melepuh. Luar biasa panas dan pengab kereta api zaman dulu. Makane dodol banyu akeh payune (jual air di dalam kereta bisa laku banyak, Red)," ungkapnya.

BACA JUGA: Hari Lahir Pancasila 1 Juni: Sejarah, Tema, dan Logo Peringatan 2024

Pekerjaan pertamanya itu dilakukan pada 1931. Saat itu umur Amad masih 9 tahun. Sepanjang hidupnya, Amad tidak sekolah. Pendidikan baca-tulis baru ia terima ketika bergabung dengan militer.

"Ndanio sekolah. Wong gae mangan bendino ae gak onok (Boro-boro sekolah. Makan sehari-hari saja susah, Red)," kata ayah 12 anak itu. Saat remaja, ia merasakan era pemerintahan kolonial Belanda. Meski sudah mulai membuka diri karena adanya Politik Balas Budi, kehidupan masih saja susah.


Amad, veteran dan memori satu abad (1): Tak pernah sekolah, belajar baca di militer. Veteran berusia 102 tahun, asli Surabaya, keturunan Arab-Tionghoa. Amad merupakan bungsu dari dua bersaudara.-Sahirol Layeli-HARIAN DISWAY

Belanda tak sepenuh hati memberi keleluasaan bagi masyarakat jajahannya. Ibarat ayam mati di lumbung. Rakyat Hindia Belanda yang hidup di tanah gemah ripah loh jinawi, malah mayoritas berada di bawah garis kemiskinan. Amad pun merasakan fase pergantian kekuasaan. Dari Belanda ke Jepang.

Meski lebih keras, kejam, dan kerap tidak manusiawi, Amad sedikit banyak berterima kasih atas kehadiran Jepang di Indonesia. Sebab, pada masa pendudukan Jepang, ia digembleng dengan latihan yang intens. Pun, dibekali pengetahuan. Termasuk kemiliteran, baris-berbaris dan baca tulis.

"Ya, kalau terus-terusan dikuasai Belanda, kita mungkin akan miskin terus. Jepang memang lebih kejam. Rakyat lebih sengsara. Tapi Jepang menanamkan semangat juang bagi rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Mereka membuka jalan," ujarnya.

Amad pun masih ingat. Suatu siang tentara Jepang berpatroli ke sekitar kediamannya di Tarik. Semua laki-laki yang bertubuh besar dan tegap, diangkut. Dibawa dengan truk militer ke gedung Pabrik Gula Balongbendo, Sidoarjo. Diseleksi.

Jepang menentukan siapa saja yang masuk PETA dan siapa saja yang masuk Heiho. Amad terpilih di Heiho. (Guruh Dimas Nugraha)

*Lari dari Balongbendo ke Krian, baca seri selanjutnya...

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway