Amad; Kisah Veteran dan Memori Satu Abad (1): Tak Pernah Sekolah, Belajar Baca di Militer

Amad; Kisah Veteran dan Memori Satu Abad (1): Tak Pernah Sekolah, Belajar Baca di Militer

Amad, veteran dan memori satu abad (1): Tak pernah sekolah, belajar baca di militer. Berkunjung ke kantor Harian Disway, Amad bercerita tentang masa kecilnya yang keras.-Sahirol Layeli-HARIAN DISWAY

SURABAYA, HARIAN DISWAYMengalami langsung tiga kali pergantian kekuasaan, tujuh kali pergantian Presiden RI. Itulah sosok Amad. Usianya seabad lebih dua tahun. Masih tegap. Daya ingatnya tajam. Kepada HARIAN DISWAY, ia bercerita tentang masa kecilnya yang susah. Tapi ia terus berjuang untuk hidup.

Seragam cokelat, baret kuning. Di dada kirinya terdapat pin lencana. Lengan kirinya terdapat logo LVRI atau Legiun Veteran Republik Indonesia. Namanya Amad. Hanya "Amad" saja. Ciri khas nama orang zaman dulu. Sering kali hanya terdiri dari satu atau dua suku kata.

Rambut dan kumisnya telah memutih. Garis-garis di kulit lengannya menggambarkan perjalanan panjang. Mungkin penuh perjuangan. Mungkin penuh peluh dan darah.

BACA JUGA: Amnesia Sejarah dan Pentingnya Arsip  

Jika diajak bicara, sesekali Amad menyerongkan telapak tangannya di samping telinga. Tanda untuk meminta lawan bicara agar sedikit mengencangkan suaranya.

Ia bersama Farchan, seorang veteran pula. Kawannya yang lain adalah Liong Pangke dari Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya. Ketiganya menggunakan ruang meeting kantor Harian Disway, di Jalan Walikota Mustajab 76 Surabaya. Membahas topik-topik sejarah.


Amad, veteran dan memori satu abad (1): Tak pernah sekolah, belajar baca di militer. Belanda ke Jepang. Amad merasakan pergantian kekuasaan di Indonesia. Ia terpilih sebagai pemuda yang ditugaskan di Heiho.-Sahirol Layeli-HARIAN DISWAY

"Pak Amad ini akan kami undang untuk menjadi pembicara. Pada 17 Agustus mendatang, Paguyuban Masyarakat Tionghoa akan mengadakan talkshow tentang sejarah. Makanya kami pinjam ruang meeting kantor Harian Disway ini," ujar Liong, kemudian tersenyum.

Ternyata Amad merupakan veteran kawakan. Usianya telah mencapai 102 tahun. Ia masih mengingat tanggal lahirnya. "Saya kelahiran Margoyoso, Surabaya, pada 7 Februari 1922. Anak bungsu dari dua bersaudara. Lho, apal aku, rek (Saya masih hapal, Red)," katanya, dengan dialek yang medok.

BACA JUGA: Pemenang Surabaya Tourism Award 2024 (16): Wisata Kampung Pecinan Unggul dengan Sejarah Tabib Kapasan yang Merawat Pejuang

"Selain apal, iki onok catetane (selain hapal, ini ada catatannya, Red)," katanya lagi, kemudian tertawa. Ia menunjukkan fotokopi dokumen tentang riwayat hidupnya. Meski usianya telah seabad lebih, Amad tak kehilangan selera humor. 

Amad terlahir dari dua orang tua berbeda etnis. Ayahnya, Muhammad Bendusu, keturunan Arab. Ibunya, Siti Chatidjah, keturunan Tionghoa. Amad masih ingat panggilan mamanya: Moi. "Saya lupa nama Mandarin Mama," ujarnya. 

Ia lahir dari keluarga miskin. Malang, saat Amad berusia 8 tahun, ayahnya meninggal. "Setelah Abah meninggal, Mamak membawa saya dan kakak ke tempat nenek. Di kawasan Tarik, Sidoarjo," kenangnya. 

Setelah ditinggal suaminya, ibu Amad menikah lagi dengan seorang pedagang ayam di kawasan Tarik. "Bapak tiri saya pedagang ayam keliling. Menikah dengan ibu saya, punya anak banyak. Namanya Kasmadi, Kanan, Slamet, Riati, Riatun. Semua sudah dipanggil Tuhan," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway