Holding Muhammadiyah, Waralaba Nahdlatul Ulama (NU)
ILUSTRASI Muhammadiyah seperti holding company. Sedangkan menurut mantan Wapres Jusuf Kalla (JK), Nahdlatul Ulama (NU) mirip waralaba alias franchise.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
WAKIL PRESIDEN Ke-10 dan Ke-12 RI Muhammad Jusuf Kalla (JK) menganalogikan NU (Nahdlatul Ulama) mirip waralaba atau franchise yang sistemmya dimiliki banyak orang. Pesantrennya dimiliki orang-orang NU, tetapi bukan milik NU.
Walaupun kepemilikan pesantren dimiliki orang-orang NU, sistemnya sudah terkontrol dan teruji. Sementara itu, Muhammadiyah mirip holding company atau perusahaan induk yang menjadi payung bagi operasionalisasi semua aktivitas AUM (amal usaha Muhammadiyah) di seluruh Indonesia.
Pengelolaan holding company, seperti sekolah, rumah sakit, universitas, panti asuhan, dan aset-aset lain dalam bentuk properti, dilakukan secara profesional dengan prinsip manajemen modern.
BACA JUGA: Penarikan Dana Muhammadiyah
BACA JUGA: NU-Muhammadiyah Bersatu…
Dua organisasi itu sama-sama dilahirkan tokoh-tokoh yang mempunyai latar belakang saudagar. NU lahir di Surabaya oleh KH Hasyim Asy’ari pada 1926 dan Muhammadiyah lahir terlebih dahulu di Yogyakarta oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912. Dua tokoh itu sama-sama mencecap ilmu keagamaan di Makkah dari guru-guru yang sama.
Perbedaan-perbedaan fiqhiyyah atau furu’iyah di masa lalu menjadi sumber perbedaan yang serius dan distinktif. NU membaca usholli sebelum salat. Muhammadiyah tidak. NU membaca kunut ketika salat Subuh, Muhammadiyah tidak.
Dalam pelaksaan jumatan, di masjid NU ada tongkat dan ada bilal yang membaca ”anshitu”, di Muhammadiyah tidak ada. Perbedaan-perbedaan itu trivial alias dangkal dan seharusnya neglectable, ’bisa diabaikan’.
BACA JUGA: Pola Relasi Baru NU-Muhammadiyah
BACA JUGA: Post Muhammadiyah Buya Syafii
Sekarang sudah banyak masjid yang menjalankan tata cara ibadah hybrid, campuran NU dan Muhammadiyah. Perbedaan furu’iyah sudah makin tipis, terutama di kalangan masyarakat perkotaan.
Kalau disuruh memilih Tarawih 23 rakaat ala NU atau 11 rakaat ala Muhammadiyah, mayoritas akan pilih yang kedua. Di perdesaan perbedaan ubudiah masih ada, tetapi sudah tidak menjadi sumber persengketaan yang sengit seperti di masa lalu.
Sebagai gerakan politik, Muhammadiyah dan NU pernah sama-sama mendirikan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937 dan berubah menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada 1943.
BACA JUGA: Muhammadiyah Tinggalkan BSI, Langkah Strategis atau Kecewa Layanan?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: