ODGJ Perkosa ODGJ

ODGJ Perkosa ODGJ

ILUSTRASI pemerkosaan ODGJ di Kampung Kandang, Bogor, Jawa Barat. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dilanjut: ”Berdasarkan keterangan keluarga dan warga sekitar, korban N sudah lama mengalami gangguan kejiwaan (ODGJ menahun). Status korban janda cerai mati dan tidak mempunyai anak. Selama ini korban hanya berada di rumah saja.”

Dilanjut: ”Pelaku anak broken home. Ia ditinggal kabur ayahnya saat masih dalam kandungan. Sekarang ia dalam pengasuhan ibunya yang juga agak mengalami gangguan mental atau ODGJ.”

Polsek Parung sudah menyarankan kepada pihak keluarga korban untuk membuat laporan polisi ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bogor. Namun, pihak keluarga korban (juga keluarga pelaku) menolak. Maka, polisi pun tidak memproses kasus itu. Alias sudah didamaikan.

Memang sudah terjadi tindak pidana. Tapi, tidak semua tindak pidana diproses hukum. Bergantung pelaku dan korban. Seperti di kasus tersebut.

Tapi, perempuan ODGJ selalu jadi korban pemerkosaan. Pelaku kejahatan (pemerkosa) bagai hewan buas yang selalu memangsa hewan yang lebih lemah. Itu berlaku universal.

Dikutip dari jurnal ilmiah, The American Psychiatric Association (APA), edisi 1 Januari 1999, berjudul Criminal Victimization of Persons with Severe Mental Illness, dipaparkan hasil riset di Carolina Utara, AS, tentang perempuan gangguan mental yang umumnya jadi korban pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Disebutkan, responden penelitian itu 331 orang dengan penyakit mental berat yang dirawat di rumah sakit. Dalam empat bulan sebelum mereka dirawat di rumah sakit, mereka mengalami viktimisasi kriminal sangat tinggi. Disimpulkan, sekitar lebih dari dua setengah kali lipat dibanding masyarakat normal (tidak gila).

Meski sebagian besar anggota sampel adalah korban kejahatan dengan kekerasan, mereka merasakan ancaman viktimisasi yang relatif kecil, mungkin karena tingginya proporsi anggota sampel yang memiliki perumahan stabil yang tinggal di rumah mereka sendiri atau di rumah orang tua mereka. Bukan tunawisma. 

Juga, viktimisasi yang kecil itu adalah persepsi mereka. Bukan persepsi masyarakat secara umum yang normal.

Jadi, ODGJ korban viktimisasi, termasuk diperkosa, dalam persepsi korban tidak merasa dijahati. Tentu saja karena dia ODGJ yang tidak berpikir rasional. Kondisi itulah yang selalu dimanfaatkan pelaku kejahatan, termasuk pemerkosaan.

Di kasus Buluk adalah dobel gila. Baik korban maupun pelaku. Jika berdasar riset APA bahwa korban ODGJ tidak merasa dijahati, apakah pelaku pemerkosa yang juga ODGJ merasa menjahati korban? Belum ada riset tentang itu.

Tapi, dari jawaban Buluk ketika diinterogasi warga ”cuma sepuluh kali doang”, bisa tergambar persepsi pelaku atas kejadian tersebut. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: