Euro 2024, Pan-Eropa, dan Naturalisasi
ILUSTRASI Piala Eropa atau Euro 2024, Pan-Eropa, dan naturalisasi pemain sepak bola.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Portugal juga tetap menjadi favorit karena ada Ronaldo. Meski sudah menjadi mesin tua, Ronaldo tetap menjadi andalan di lini depan. Pelatih Roberto Martinez terlalu sungkan untuk tidak memasang Ronaldo. Meski tidak mencetak gol dalam tiga pertandingan penyisihan, Ronaldo tetap menjadi starter.
Dalam pertandingan penyisihan terakhir, Portugal dipermalukan Georgia 0-2. Ronaldo frustrasi, lebih banyak berteriak-teriak daripada berlari, dan akhirnya kena kartu kuning dan ditarik keluar oleh Martinez. Kendati demikian, Portugal tetap favorit juara karena pemain-pemain mudanya sangat cemerlang.
Spanyol juga kembali menjadi favorit juara. Dengan konsep tiki-taka, Spanyol menjadi juara dunia pada 2010 dan juara Eropa edisi 2008 dan 2012. Setelah itu, Spanyol melempem. Sekarang muncul wonderkid Lamine Yamal yang usianya masih 16 tahun, tapi menjadi tumpuan harapan untuk membangkitkan kembali sepak bola Spanyol.
Prancis adalah tim yang menarik untuk ditonton. Tanpa kapten Kylian Mbappe yang cedera, Prancis tetap calon juara yang sangat diperhitungkan. Tiap kali menonton timnas Prancis, perhatikanlah berapa banyak pemain yang berkulit hitam. Dalam setiap line-up, setidaknya ada sembilan pemain berkulit hitam hasil blasteran Prancis dan Afrika.
Pemain-pemain tua berkulit legam seperti N’Golo Kante masih menjadi andalan di lini tengah. Pemain-pemain lain seperti Usman Dembele, Benjamin Mendy, Julius Kounde, Aurelien Tchoumeni, Eduargo Camavinga, semuanya berkulit legam dan lahir dari orang tua Afrika.
Prancis adalah kekuatan kolonialis besar di awal abad ke-20, menjajah negara-negara Afrika dan Asia. Sekarang Prancis menjadi negara multikultural paling berwarna-warni di Eropa. Gambaran timnas Prancis yang didominasi ”pemain naturalisasi” berkulit hitam menunjukkan bahwa publik Prancis tidak keberatan dengan banyaknya pemain naturalisasi.
Mungkin para suporter timnas Indonesia bisa belajar dari Prancis meski kasusnya tidak sama persis. Prancis menerima pemain-pemain kulit hitam sebagai bagian dari politik multikulturalisme, sedangkan Indonesia mengimpor pemain naturalisasi dari Eropa karena kepepet dan ambil jalan pintas.
Politik tidak bisa menyatukan Eropa. Namun, sepak bola bisa menyatukan mereka. Sama dengan di Indonesia. Ketika pilpres orang saling bermusuhan, tapi ketika timnas Indonesia bermain, mereka semua bersatu. (*)
*) Dosen ilmu komunikasi Unitomo, Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: