Menyusuri Jejak Revolusi Kota Lama Surabaya (3-habis): Butuh Penjelasan Historis Biar Tak Sauvinistis

Menyusuri Jejak Revolusi Kota Lama Surabaya (3-habis): Butuh Penjelasan Historis Biar Tak Sauvinistis

Keceriaan anak-anak berkeliling Kota Lama Surabaya pada Sabtu sore, 13 Juli 2024.-Sahirol Layeli/Harian Disway-

BACA JUGA:Belum Diresmikan, Jukir Liar Kawasan Kota Lama Surabaya Sudah Bikin Pusing

BACA JUGA:Wali Kota Ajak Keturunan Hasan Gipo dan KH Mas Mansur Bangun Kota Lama Surabaya

Selain itu, Sarkawi juga menyoroti penamaan jalan yang diberikan oleh Pemkot Surabaya. Seperti plang Jalan Jembatan Merah yang ditambah dengan nama jalan pada saat kolonial Hindia-Belanda: Willemskade. 

“Itu terlalu berlebihan, sauvinistis, dan seolah-olah menganggap masa lalu sebagai sesuatu yang baik luar biasa," imbuh kepala Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga tersebut.

Alih-alih menamai jalan persis seperti tempo dulu, lebih baik Pemkot Surabaya membuat plang yang menceritakan histori dari jalan tersebut. "Tahun sekian (di jalan) itu misalnya jadi tempat perdagangan. Mending dibuat seperti itu dibandingkan meromantisasi masa lalu," tegasnya.

Ia pun mengkritik penataan kawasan Surabaya Kota Lama yang dibagi menjadi tiga zona berdasarkan ras, yakni Eropa, Pecinan, dan Arab. Sebab, penduduk yang tinggal di zona Pecinan di masa kolonial tidak melulu mereka yang merupakan keturunan Tionghoa.

BACA JUGA:Potret Surabaya Kota Lama, Sudah Ramai Meski Belum Dibuka

BACA JUGA:Menata Ruetnya Kabel di Surabaya: Pemkot Mulai dari Kawasan Kota Lama


Replika mobil Jenderal AWS Mallaby yang terpajang di kawasan Kota Lama Surabaya. Anak-anak peserta walk tour Roodebrug Soerabaia begitu antusias menyimak penjelasan sejarah dari Ady Setyawan.-Sahirol Layeli/Harian Disway-

Begitu pula dengan zona Arab yang terbentang di kawasan Ampel. Penduduk di sana juga tidak serta merta mereka yang berketurunan Arab saja. Artinya, harus ada penjelasan mengapa dahulu terdapat pembagian kawasan.

Jika tidak ada penjelasan historis, malah akan memberikan persepsi negatif kepada pengunjung. Bagi Sakrawi, sejarah tidak boleh dilihat secara hitam putih. Bahwa buktinya ada orang Melayu yang tinggal di zona Eropa juga. 

Pada masa itu, pembagian kawasan memang dianggap “wajar”.  Sebab, pribumi berada di kelas sosial paling bawah. Tentu, hal semacam itu tidak boleh berlanjut sampai hari ini. Prinsip eksklusivitas harus dihilangkan dan sejarah harus dijadikan sebagai sesuatu yang lebih kohesif untuk masyarakat. 

Di sisi lain, Sarkawi juga mengingatkan Pemkot Surabaya agar tidak hanya berorientasi pada profit. Melainkan edukasi sejarah kepada para pengunjung Kota Lama Surabaya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: