Selamat Tinggal Jurusan IPA, IPS, Bahasa di SMA
Ilustrasi siswa SMA yang sedang berdiskusi.- Ed Us-Unsplash
Dewan Pendidikan Jawa Timur Ali Yusa, merespons positif kebijakan teranyar dari Kemdikbud Ristek. Penghapusan jurusan di jenjang SMA ini adalah sebuah kabar baik. Diskriminasi siswa non-IPA dalam seleksi nasional penerimaan mahasiswa baru (SNPMB) akan hilang.
“Tidak ada lagi stigma anak IPA lebih superior dari anak IPS. Anak IPA lebih baik dari anak IPS. Stigma-stigma itu akan menghilang. Ini akan semakin mendukung pemerataan pendidikan,” ujar Ali saat dihubungi Harian Disway, Minggu, 21 Juli 2024.
Bel pulang, siswa SMAN 21 Surabaya keluar halaman sekolah.-Dokumentasi Harian Disway-
Jika berkaca pada beberapa tahun terakhir. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa adanya pembagian jurusan ini menghambat siswa-siswi untuk berkuliah. Contoh gampangnya, anak jurusan IPS sulit untuk melanjutkan kuliah jurusan teknik.
Sedangkan anak IPA bisa leluasa memilih jurusan kuliah. Sekalipun itu jurusan sosial maupun bahasa. Lantas, tak heran bila sebagian besar siswa dan orang tua ingin memilih jurusan IPA saat SMA. Biar lebih aman.
Menurut Ali, akar masalah penjurusan SMA oni dimulai pada saat seleksi penerimaan Perguruan Tinggi. Di mana saat ini materi yang diujikan bukan lagi soal saintek (IPA) dan soshum (IPS).
“Melainkan tes potensi skolastik, tes literasi bahasa, dan tes penalaran matematika. Ketika tidak ada yang diujikan. Kenapa harus ada pengelompokan jurusan di SMA?” selorohnya.
Kendati demikian, Ali juga memberikan tiga catatan tebal terhadap kebijakan baru Kemendikbud Ristek yang rencananya mulai diberlakukan pada tahun ajaran baru 2024/2025 ini.
BACA JUGA:Pendidikan Vokasi, Jalan Tengah saat UKT Mahal
Bagi Ali, kemerdekaan belajar sama dengan liberalisasi belajar. Artinya siapa bisa belajar apa dan mau belajar apa. Konsep ini akan menjadi bumerang jika siswa tidak tahu atau merasa bingung dengan tujuan hidupnya.
“Di sini lah peran guru BP untuk memberikan konseling terbaik untuk siswa-siswinya. Kurikulum K13, anak-anak diminta untuk berkreatif, inovatif. Sedangkan dalam kurikulum Merdeka, anak-anak dituntut untuk mengenali potensi dirinya,” terang Ali.
Catatan selanjutnya adalah, sekolah harus lebih mengedepankan anak-anak untuk mampu bertanya dan menganalisis apa yang dipelajari. Proses pembelajaran juga diharapkan bisa tuntas di sekolah.
"Artinya, keluar dari sekolah, pembelajaran anak-anak adalah bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat. Bukan back to bimbel (Bimbingan belajar, red)," tandasnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: