Demokrasi dan Kekuasaan: Antara Maslahat dan Mafsadat

Demokrasi dan Kekuasaan: Antara Maslahat dan Mafsadat

ILUSTRASI demokrasi dan kekuasaan: antara maslahat dan mafsadat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Lima sila Pancasila sebagai landasan utama dan penting diwujudkan dalam kepemimpinan nasional dan kepemimpinan dalam semua lini.

Dua sisi kekuasaan memiliki konsekuensi berbeda. Apabila dipahami sebagai amanah, kekuasaan akan menjadi memori positif dalam sejarah bangsa karena telah memberikan warna dan kontribusi dalam pembangunan nasional. 

Sebaliknya, kekuasaan yang dipahami sebagai kenikmatan akan dapat menjerumuskan yang berkuasa dan masyarakat karena perbuatan yang dilakukan.

Kekuasaan yang dipahami sebagai kenikmatan akan berdampak pada psikologi kepribadian yang bersangkutan manakala masa kekuasaannya akan berakhir, mengalami ketakutan kehilangan kekuasaan dan kewenangan (syndrome power), dan lain sebagainya. 

Dengan begitu, yang terjadi, penguasa merasa seakan-akan masih memiliki kewenangan tanpa batas dan bersikap tidak legawa kalau kekuasaannya selesai.

Apabila seseorang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, yang bersangkutan akan merasa bahagia apabila kekuasaannya akan berakhir karena amanah telah selesai ditunaikan dengan baik dan dapat menjaga titipan dengan tanggung jawab. 

Bahkan, walaupun sudah tidak memiliki power lagi, pemimpin yang demikian masih memiliki pengaruh dan wibawa. 

Sebaliknya, pemimpin yang memahami kekuasaan sebagai kenikmatan, apalagi kelihatan tidak legawa atas kekuasaannya yang berakhir, maka ketika power tidak lagi dimiliki, pengaruhnya pun tidak ada lagi. Bahkan, wibawanya pun juga tidak ada dan akan menjadi memori negatif di tengah masyarakat.

MASLAHAT DAN MAFSADAT

Saya berbaik sangka seseorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, baik dalam pemerintahan, partai politik, organisasi, perguruan tinggi, maupun organ-organ lainnya, memiliki iktikad baik hendak memberikan kontribusi terbaik dalam kepemimpinan yang diemban. 

Iktikad baik tersebut berdampak secara positif terhadap kepemimpinan yang diemban berada dalam posisi yang benar (on the track) sebagaimana yang dijanjikan. Akan tetapi, dalam perjalanan berikutnya, banyak tantangan yang dihadapi seorang pemimpin yang berkuasa. Yaitu, harta, takhta, wanita/pria. 

Pemimpin yang sedang berkuasa diuji dalam menghadapi situasi seperti itu, apakah tetap on the track atau sebaliknya.

Untuk tetap berada pada posisi on the track, diperlukan human capital berupa karakter dan integritas. Menurut para ahli kepribadian, kunci keberhasilan adalah kejujuran dan tanggung jawab. 

Human capital macam itulah yang menjadi kekuatan utama seorang pemimpin dalam membentengi dan memproteksi diri dari berbagai godaan seperti yang telah dikemukakan.

Namun, dalam realitasnya, sebagian pemimpin di Indonesia, baik dalam pemerintahan (menteri, kepala daerah, dan jabatan lainnya) maupun institusi lainnya, terjebak dalam godaan yang akhirnya membawa mafsadat (keburukan) bagi yang bersangkutan dan bangsa. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: