Demokrasi dan Kekuasaan: Antara Maslahat dan Mafsadat

Demokrasi dan Kekuasaan: Antara Maslahat dan Mafsadat

ILUSTRASI demokrasi dan kekuasaan: antara maslahat dan mafsadat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BELAKANGAN ini sering terdengar ungkapan demokrasi dibegal, demokrasi dibajak, demokrasi disandera, dan beberapa ungkapan sejenis lainnya. Tampaknya itu merupakan ekspresi kejengkelan dan kekecewaan masyarakat terhadap karut-marutnya perpolitikan di Indonesia sejak pemilu presiden (pilpres) sampai saat ini pemilihan kepala daerah (pilkada). 

Terlebih, setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU/XII/2024 yang mengubah ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang diusung partai politik atau gabungan partai politik dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menegaskan batas usia minimal calon kepala daerah berusia 30 tahun terhitung sejak pendaftaran disikapi oleh Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan rakyat (DPR) bersama pemerintah akan menganulir putusan MK. 

Merespons rencana tersebut, masyarakat dari berbagai elemen melakukan aksi protes dan demonstrasi. Aksi tersebut membuahkan hasil. Akhirnya rencana menganulir putusan MK dibatalkan. Dengan demikian, yang menjadi acuan terkait pilkada adalah putusan MK.

BACA JUGA: Demo Tegakkan Demokrasi

BACA JUGA: Aksi Kamisan Surabaya: Demokrasi Mati Bungkam Jadi Saksi

Dalam perpolitikan di Indonesia, banyak politikus yang mengalami situasi yang menyenangkan dan pada masa berikutnya mengalami situasi sebaliknya. Hal itu disebabkan politik bersifat fluktuatif. Para politiksu pun banyak yang sering berganti tempat bersinggah, termasuk dalam hal perubahan koalisi partai politik (parpol). 

Semuanya berdasarkan kepentingan masing-masing. Parpol sering menjadi incaran tempat persinggahan politisi sesuai dengan selera dan keinginannya, yang sering dikenal dengan politisi kutu loncat. Artinya, politisi yang mengincar parpol mana yang dianggap prospektif membawa nasibnya menjadi lebih baik, parpol itulah yang akan menjadi tempat berlabuh. 

Jarang sekali dijumpai politisi yang merintis dari titik nol parpol yang menjadi kendaraan politik. Rata-rata menumpang atau berlabuh pada parpol yang memenuhi syarat keikutsertaan dalam pemilu. 

BACA JUGA: Bahasa, Alat Kekuasaan di Era Orde Baru

BACA JUGA: New York Times Soroti Politik Dinasti di Pilpres RI, Ambang Priyonggo: Demi Status Quo Kekuasaan

Fakta demikian dapat dilihat pada aktor-aktor politik yang mungkin karena sesuatu hal, misalnya tidak seirama lagi dengan pimpinan partai atau terjadi konflik, yang bersangkutan lari kepada parpol lainnya untuk mencari kenyamanan. Apalagi, kalau masih memiliki posisi tawar tinggi, ia akan diperhitungkan untuk menempati posisi strategis.

Politisi yang masih memiliki kekuasaan saat masih definitif akan mendayagunakan kekuatannya untuk melakukan kewenangan yang dimiliki. Akan tetapi, yang tidak boleh dilakukan adalah apabila masa kekuasaannya telah habis, masih memosisikan seakan-akan masih berkuasa sehingga yang terjadi adalah syndrome power. Hal demikian tidak baik dalam proses demokrasi. 

Boleh jadi syndrome power disebabkan terlalu lama berkuasa atau merasa nyaman menikmati kekuasaan. Padahal, ketika seseorang mendapat amanah untuk berkuasa, perlu dipahami bahwa kekuasaan yang diemban adalah amanah dan titipan yang sewaktu-waktu dapat diambil kekuasaannya oleh Zat Yang Maha Kuasa melalui proses dan mekanisme yang ditetapkan. 

BACA JUGA: Hasil Sharing Experience Pimpinan Universitas Airlangga: Cupu Manik Astagina dan Kekuasaan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: