Media Jurnalistik Berguguran di Negara Demokrasi

ILUSTRASI Media Jurnalistik Berguguran di Negara Demokrasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
TANGISAN presenter TV Gita Maharkesri pada siaran terakhirnya dalam program Sport Pagi, bersamaan dengan merebaknya isu PHK, bukan sekadar tangisan biasa. Itulah tangisan dunia jurnalistik sebagai pilar keempat demokrasi, meluncur cepat ke arah keberakhiran (the and), untuk tidak mengatakan sampai pada titik kematiannya (the death).
Anomali pers itu terjadi dalam negara demokratis yang menjunjung kebebasan, keterbukaan, kesetaraan, dan keadilan. Justru insan jurnalis harus tersisih dari kesuburan alam demokrasi itu sendiri.
Negara terkesan abai akan fenomena tersebut. Sebab, mereka lebih mengutamakan influencer pelaku komunikasi nonjurnalistik yang dimotori kaum pesohor lifestyle dengan bantuan digital new-media. Kemudian, dipilih menjadi menteri pembantu presiden.
Kegetiran dunia jurnalistik itu terjadi bersamaan dengan perayaan May Day 1 Mei lalu. May Day tahun ini menjadi sejarah baru karena diselenggarakan cukup meriah dan mewah dan dihadiri langsung oleh Presiden Prabowo Subianto di Lapangan Monas, Jakarta.
Di balik kemewahan dan kemeriahan May Day, ternyata menyisakan kegetiran yang menyayat kehidupan bagi dunia media jurnalistik mainstream.
Bersamaan dengan peristiwa tangisan Gita dan perayaan May Day itu, di rumah sebelah juga tersiar pamitan para jurnalis dari dunia yang membesarkan nama dan kariernya. Sebut saja segenap kru MNC Biro Surabaya yang pamit undur diri, ”Kami mohon maaf atas kesalahan dan khilaf, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang bekerja sama dengan kami.” Begitulah tangisannya.
DEMOKRASI TANPA JURNALISME
Fenomena bergugurannya para jurnalis dari rumah pengabdiannya ternyata terus bersambung. Jurnalis awak media dari dunia media mainstream, baik media cetak (koran, majalah, dan tabloid), maupun media elektronik (televisi dan radio), mengalami tekanan situasi yang cukup hebat untuk bisa bertahan hidup.
Media mainstream sebagai penjaga marwah jurnalisme yang demokratis telah kehilangan kendalinya untuk bertahan hidup dari tekanan kapital, dunia digital, regulasi pasar, dan keberpihakan negara kepada jurnalisme pengawal moral sosial.
Padahal, jurnalisme dari media mainstream itulah yang masih jujur mengemban misi masyarakat sipil sebagai media pilar keempat demokrasi.
Itulah misi mulia jurnalisme media yang menyambung lidah rakyat kepada pemerintah, penyambung ketertindasan kepada penguasa, penyambung si miskin kepada si kaya, penyambung penderitaan kepada penolongnya, dan literasi mencerahkan dari kegelapan peradaban.
Walaupun, kondisi media yang seperti itu masih tak luput dari kritik Noam Chomsky dan Edward S. Herman (1988) dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of The Mass Media. Dikatakan, media massa tidak selalu independen dan tidak memihak di ranah publik.
Kritik Chomsky itu sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada para influencer, youtuber, tiktoker, apalagi para buzzer. Yang membangun publisitas lebih berpihak kepada majikan yang bayar. Majikan itu bisa korporasi perusahaan atau bahkan perorangan.
Sementara itu, urusan etika publikasi dalam cara kerja influencer, youtuber, tiktoker, dan buzzer tidak menjadi spirit tindakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: