Benarkah Seoul Menjadi Alasan Daerah Pedesaan Semakin Sepi?

Benarkah Seoul Menjadi Alasan Daerah Pedesaan Semakin Sepi?

Ibu kota Seoul, Korea Selatan.-Ethan Brooke-Pexel

HARIAN DISWAY - Kota-kota metropolitan merupakan tujuan utama di banyak negara, tidak terkecuali Korea Selatan. Namun, ketika ibu kota lebih menarik untuk ditinggali, masalah pun muncul. Akan ada depopulasi di tempat lain. Hal ini kemudian mengarah pada masalah yang lebih kritis yaitu kekurangan pekerja atau tenaga muda.

Hampir 60 persen perusahaan besar memiliki lebih dari 300 karyawan di Korea Selatan berada di wilayah Seoul dan sekitarnya. Sementara itu, investigasi Thomson Reuters Foundation menyimpulkan pada bulan Juni bahwa skema pekerja musiman di Korea Selatan mirip dengan perbudakan modern.

Dengan daerah pedesaan yang kekurangan tenaga kerja lokal, negara ini semakin beralih ke pekerja migran untuk mengisi kekosongan tersebut. Sebanyak 165.000 visa non-profesional dapat dikeluarkan tahun ini, lebih besar dua kali lipat dari tahun 2022.

BACA JUGA:Populasi Jepang Makin Kritis, Angka Kesuburan di Titik Terendah

Di saat yang sama, taman bermain menjadi sepi karena jumlah anak-anak berkurang. Sebanyak 193 sekolah ditutup antara tahun 2017-2022, hampir 90 persen dari sekolah-sekolah tersebut berada di luar wilayah Seoul.

“Di sini, di Danyang, dulu ada sekitar 30 sekolah dasar. Tapi sekarang hanya ada sekitar 10,” kata Son Youn-seok, dekan urusan akademik di SD Gagok. Sekolah ini hanya memiliki lima siswa kelas enam.

Kenyataan ini membuat program Insight meneliti konsekuensi dari migrasi internal Korea Selatan. Apakah daya tarik Seoul menjadi penyebabnya dan apa saja upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi kesenjangan pedesaan-perkotaan.

Dengan berkurangnya jumlah penduduk, 89 dari 228 distrik administratif di negara ini juga menghadapi risiko kepunahan. Inilah yang terjadi ketika orang-orang berbondong-bondong ke wilayah metropolitan untuk mengejar prospek yang lebih baik. Itu seding diiringi dengan mengorbankan penundaan pernikahan dan memiliki anak.

BACA JUGA:Memahami Tren Marriage is Scary, Mengapa Pernikahan Terlihat Sangat Menakutkan?

Pada bulan Juni, Presiden Yoon Seuk-yeol menyatakan tren demografi saat ini sebagai “keadaan darurat nasional”.

Di kota Ansan, Park Jung-ryul, 73 tahun, harus bertani dari subuh hingga senja karena populasi yang menua. “Sulit sekali mencari pekerja,” katanya. “Orang termuda di sini berusia 60-an tahun.”

Selama satu dekade terakhir, angka pernikahan di Korea Selatan memang menurun hingga 40 persen. “Sudah menjadi kenyataan di daerah-daerah regional bahwa beberapa dekade telah berlalu tanpa mendengar suara anak-anak yang dilahirkan,” kata Han Byung-do, politisi yang mewakili Kota Iksan.

“Jika pemerintah menawarkan keuntungan pajak yang besar dan insentif untuk mempekerjakan tenaga kerja dari daerah-daerah ini, perusahaan-perusahaan akan pindah ke sana,” lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: cna