Mirror Neurons Picu Pembunuhan Satpam Pabrik di Pamulang, Tangsel
ILUSTRASI mirror neurons picu pembunuhan satpam pabrik di Pamulang, Tangsel.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Hasil riset kami, ada sistem di otak yang membantu kita dengan meniru hanya ”secara internal”. Atau meniru hanya dalam angan-angan, tapi tidak dalam tindakan nyata.
Sistem di otak itu meredam mirror neurons untuk menirukan secara nyata. Kebetulan, mirror neurons juga berfungsi menumbuhkan empati sosial. Dengan demikian, sistem itu menghidupkan fungsi empati sosial dibanding sebagai cermin yang meniru secara nyata apa yang dilihat orang tersebut.
Masalah utamanya adalah keseimbangan kekuatan antara mekanisme kontrol berbanding mirror neurons. Mekanisme kontrol bertindak top-down. Mirror neurons bertindak sebaliknya, bottom-up.
Dalam keseimbangan itu, jika mirror neurons yang dominan, orang yang bersangkutan bakal meniru tindakan yang pernah ia tonton. Antara lain, tindakan kekerasan jika ia sedang marah. Tindak kekerasan itu bisa keterlaluan menjadi pembunuhan.
Dengan demikian, persepsi menyaksikan seseorang melakukan suatu tindakan memengaruhi keputusan kita melakukan tindakan yang sama pada diri kita sendiri. Tapi, sebelum tindakan nyata terjadi, ada mekanisme kontrol.
Pertanyaan: Adakah tanda-tanda pada seseorang ketika ia akan melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain?
Iacoboni: Ada. Dan cukup terlihat. Meskipun sulit ditafsirkan oleh orang yang melihat tanda tersebut. Dan, tanda itu ada pada wajah, berlangsung beberapa detik saja. Sebab itu, sulit ditafsirkan.
Tanda-tanda itu bisa juga berupa kata-kata. Yang ini lebih gampang ditafsirkan. Tapi, ada juga kata-kata yang sifatnya hanya untuk meredam kemarahan orang tersebut. Atau, disebut gertakan. Orang juga sulit membedakan, apakah tanda-tanda itu bakal membuat orang tersebut akan bertindak agresif atau cuma berupa gertakan.
Tapi, jika A marah kepada B. Dan, A mengatakan sesuatu yang berupa tanda-tanda tindakan agresif kepada temannya, C, lalu C berhasil merumuskan bahwa itu tanda-tanda ledakan kemarahan, sangat mungkin C bisa mencegah A melakukan agresi terhadap B. Dengan dmeikian, tidak terjadi kejahatan.
Dalam budaya Indonesia, ada kalimat peredam orang marah: ”yang waras mengalah”. Kalimat itu sekaligus menyindir bahwa orang tidak mengalah adalah tidak waras. Barangkali ini yang dimaksud Prof Iacoboni sebagai bagian dari mekanisme kontrol terhadap respons mirror neurons.
Teori itu berguna bagi mereka yang terlalu sensitif menanggapi kemarahan. Sebab, jika marah dan lepas kontrol, orang akan melakukan tindakan ekstrem. Terjadilah tragedi. Kemudian, menyesal karena dipenjara. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: